Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4,00 - 4,25%. Namun, The Fed justru menunjukkan sikap yang lebih hawkish untuk tahun depan.
Pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps ini adalah yang pertama sepanjang tahun ini. The Fed masih memberikan adanya sinyal potensi pemangkasan suku bunga kembali di pertemuan Oktober mendatang hingga pertemuan di Desember 2025.
Laporan proyeksi terbaru mengindikasikan adanya strategi pivot oleh the Fed yang sebelumnya memiliki keraguan atau hawkish dalam menurunkan suku bunga Amerika Serikat (AS).
Hal ini memberikan sinyal kuat ke pasar bahwa era suku bunga tinggi akan berakhir secepatnya dengan potensi pemotongan suku bunga kembali pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, karena median pemangkasan suku bunga berada pada level 30 bps hingga pertemuan di akhir tahun pada bulan Desember 2025 yang akan datang.
Berbanding terbalik dengan 2025, The Fed menunjukkan sikap lebih hawkish untuk 2026 dibandingkan proyeksi sebelumnya. Hal ini terlihat dari dot plot terbaru yang menempatkan federal funds rate lebih tinggi untuk tahun depan, meski baru saja memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin.
Untuk 2026, "dot plot" menunjukkan hanya satu pemangkasan di tahun 2026, jauh lebih lambat dibanding pelaku pasar yang memperkirakan tiga.
Para pejabat juga memperkirakan satu pemangkasan lagi di 2027, saat Fed mendekati tingkat netral jangka panjang sebesar 3%. Enam pejabat The Fed melihat suku bunga jangka panjang berada di bawah median tingkat netral.
Dalam konferensi pers, chairman The Fed Jerome Powell menyebut penurunan suku bunga bulan ini sebagai pemangkasan berbasis manajemen risiko. Komentarnya mengisyaratkan bahwa langkah ini lebih merupakan pemotongan preventif untuk berjaga-jaga jika ekonomi melambat drastis dan membuat kecewa pasar.
Powell ingin menekankan bahwa pemangkasan suku bunga ini bukan karena ekonomi sudah jatuh parah, tapi lebih sebagai langkah pencegahan agar risiko pelemahan ekonomi tidak semakin besar.
Meskipun ada pemangkasan 25 bps baru-baru ini, langkah ini dianggap "risk-management cut", bukan awal dari siklus penurunan suku bunga panjang.
"Anda bisa menganggap ini (pemangkasan) sebagai pemangkasan suku bunga untuk manajemen risiko. Tidak ada jalur yang bebas risiko saat ini. Tidak jelas apa yang paling tepat dilakukan," kata Powell,dikutip dari CNBC International.
David Kelly, kepala strategi global di JPMorgan Asset Management, mengatakan pemangkasan suku bunga The Fed tidak akan terburu-buru.
"Pasar tenaga kerja mulai sedikit melemah, sehingga mereka menilai langkah memangkas suku bunga ini tepat. Namun, pemangkasan tidak akan dilakukan dengan cepat karena mereka juga menyadari masih ada masalah inflasi. Fakta bahwa The Fed mengambil langkah secara perlahan, seimbang, dan terukur dalam menyesuaikan suku bunga, menurut saya, memberi kepercayaan kepada investor di seluruh dunia," ujar Kelly, kepada CNN.
Dalam dot plot terbarunya, The Fed sedikit menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto/PDB) AS untuk 2025 menjadi 1,6% dari sebelumnya 1,4%.
Proyeksi baru The Fed mengindikasikan jika ekonomi AS masih tahan banting.
Pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga kuat, ditambah pasar tenaga kerja ketat dengan pengangguran rendah. Kondisi ini memberi ruang bagi The Fed untuk menahan suku bunga lebih lama.
Dari perubahan proyeksi indikator ekonomi Amerika Serikat ini dapat dilihat bahwa The Fed memiliki keyakinan bahwa potensi ekonomi Amerika Serikat mengalami soft landing imbas dari ancaman tarif, geopolitik, dan lainnya lebih mungkin terjadi ketimbang hard landing walaupun kebijakan adanya potensi pelemahan pada data angka pasar tenaga kerja di Amerika Serikat.
Selain itu, Inflasi pengeluaran pribadi (PCE)dan inflasi pengeluaran pribadi inti (Core PCE) diekspektasi juga tetap duduk di angka yang sama sesuai dengan proyeksi pada bulan Juni kemarin di 3,0% dan 3,1% secara berurutan.
Dengan inflasi yang masih tinggi, pemangkasan suku bunga terlalu cepat berisiko menyalakan kembali inflasi di atas target 2%.
Pasar Kecewa Indeks Dow Jones ditutup naik 260 poin atau 0,57%. Sementara itu, indeks S&P 500 yang lebih luas turun tipis 0,1% dan Nasdaq Composite yang sarat saham teknologi terkoreksi 0,33%. Pasar saham sempat reli dalam beberapa pekan terakhir karena ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed, namun hasil keputusan tersebut tidak cukup untuk memicu pergerakan besar di bursa. Indeks dolar AS sempat turun hingga 0,4% setelah keputusan tersebut, sebelum menghapus pelemahannya dan berbalik naik 0,3% setelah konferensi pers Powell. Indeks sempat jatuh ke 96,6 sebelum naik ke level 97. Imbal hasil obligasi pemerintah AS (Treasury yields) sempat turun lebih dulu sebelum kembali naik setelah Powell menekankan risiko inflasi. Pergerakan pasar Asia pun beragam. Indeks Nikkei 225 Jepang naik 0,44% ke 44.989,30, sementara Kospi Korea Selatan menguat 0,56% ke 3.432,67. Namun, ASX/S&P 200 Australia melemah 0,91% ke 8.738,40. Sementara itu, kontrak berjangka Hang Seng Hong Kong diperdagangkan di level 26.829, sedikit lebih rendah dibanding penutupan sebelumnya di 26.908,39.
Saham AS ditutup beragam pada Rabu atau Kamis dini hari waktu Indonesia setelah keputusan The Fed. Indeks dolar juga menguat yang mengindikasikan kekecewaan pasar.
Penguatan dolar setelah pemangkasan The Fed adalah hal yang tidak umum. Secara historis, indeks dolar akan melemah begitu The Fed memangkas suku bunga karena investor melihat investasi di AS kurang menarik.
Mengutip CNBC.com, Kamis (18/9/2025), Ketua The Fed Jerome Powell menyebut pemangkasan bunga kali ini sebagai langkah "risk management cut" alih-alih respons terhadap pelemahan ekonomi yang signifikan. The Fed juga mengindikasikan akan ada dua kali pemangkasan tambahan pada 2025, satu kali pada 2026, satu lagi di 2027, dan tidak ada pemangkasan pada 2028.
Peso Filipina memimpin pelemahan dengan terdepresiasi sebesar 0,63% ke level PHP 57,041/US$. Tepat di bawah nya, rupiah menjadi mata uang kedua dengan pelemahan terbesar terhadap dolar AS, dengan pelemahan sebesar 0,32% ke posisi Rp16.477/US$. Diikuti oleh won Korea yang turut melemah 0,19% di level KRW 1383,04/US$, dan ringgit Malaysia 0,14% di level MYR 4,193/US$. Sementara itu, rupee India dan dong Vietnam juga mengalami koreksi dengan masing-masing sebesar 0,12% dan 0,10%.
Mayoritas mata uang Asia terpantau tengah mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Kamis (18/9/2025), seiring dengan keputusan The Federal Reserve (The Fed) yang baru saja memangkas suku bunga untuk pertama kali nya di sepanjang tahun ini.
Melansir dari Refinitiv, per pukul 09.20 WIB, peso Filipina menjadi mata uang dengan pelemahan terbesar di kawasan Asia, sebaliknya baht Thailand justru tampil paling perkasa menghadapi dolar AS.
(mae)