Makin Terkubur, Harga Batu Bara Jatuh ke Terendah Hampir 4 Tahun

2 weeks ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara melanjutkan tren pelemahan hingga akhirnya menyentuh level psikologis US$100/ton diikuti sentimen dari Vietnam yang mengurangi ketergantungan terhadap gas dan batu bara.

Dilansir dari Refinitiv, harga batu bara pada 27 Februari 2025 tercatat sebesar US$100,1/ton atau turun 1,28% apabila dibandingkan penutupan perdagangan 26 Februari 2025 yang sebesar US$101,4/ton.
Penutupan kemarin adalah yang terendah sejak Mei 2021 atau hampir empat tahun terakhir.

Dilansir dari piquenewsmagazine.com, Vietnam sedang merevisi rencana energinya dengan lebih berfokus pada ladang tenaga surya besar dan mengurangi ketergantungan pada batu bara serta gas alam. Negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat ini kini menargetkan 16% dari energinya berasal dari tenaga surya lebih dari tiga kali lipat dari target sebelumnya yang hanya 5%.

Semakin banyak negara yang meninggalkan batu bara dan beralih ke energi yang lebih bersih, maka permintaan batu bara pun akan menurun dan membuat harganya turut mengalami depresiasi.

Draf kebijakan baru Vietnam, yang kemungkinan akan diselesaikan dalam beberapa minggu mendatang, membatalkan rencana pembangunan turbin angin lepas pantai dan menggantinya dengan peningkatan kapasitas tenaga angin darat, panel surya atap, serta penyimpanan energi.

Proyek tenaga angin lepas pantai dan gas baru terbukti mahal dan sulit direalisasikan, sementara ladang tenaga surya besar lebih murah dan lebih mudah dibangun.

Namun, Vietnam juga menekankan ekspansi ladang tenaga surya besar untuk memenuhi lonjakan permintaan listrik. Negara ini memperkirakan akan membutuhkan lebih dari 211 gigawatt energi pada tahun 2030 seiring pertumbuhan ekonominya 40% lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya dan lebih besar dari total kapasitas listrik Jerman saat ini.

"Ini mencerminkan peningkatan permintaan listrik secara keseluruhan pada tahun 2030 serta fakta bahwa proyek LNG (gas alam cair) tidak berada di jalur yang tepat untuk diselesaikan pada tahun 2030," kata Giles Cooper, mitra di firma hukum internasional Allens yang berbasis di Hanoi dan berspesialisasi dalam kebijakan energi.

Tenaga surya berkembang pesat di Vietnam dari 2018 hingga 2020 berkat kebijakan pemerintah yang menguntungkan, melampaui negara-negara tetangganya dan beberapa negara kaya seperti Inggris. Namun, pembangunan kapasitas tenaga surya baru terhenti pada 2020 karena jaringan listrik Vietnam yang sudah tua mengalami kelebihan beban, mengingat listrik hanya tersedia saat matahari bersinar.

"Pasarnya seakan-akan hampir berhenti," kata Dimitri Pescia dari lembaga pemikir berbasis di Berlin, Agora Energiewende.

Penggunaan batu bara yang mencemari lingkungan, yang melepaskan gas penyebab pemanasan global ke atmosfer, meningkat tajam, dan Vietnam diperkirakan akan menjadi salah satu dari lima importir batu bara terbesar di dunia, menggantikan Taiwan, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Seperti banyak negara lain, Vietnam masih perlu meningkatkan jaringan listriknya yang rapuh, yang gagal mengikuti pertumbuhan pesat pembangkit energi bersih. Namun, negara ini telah melakukan perbaikan dan mendapatkan pengalaman dalam menangani sumber energi yang tidak selalu tersedia, kata Cooper.

Tahun lalu, pihak berwenang mengizinkan pabrik-pabrik dengan konsumsi listrik tinggi untuk membeli daya langsung dari produsen energi, dengan tujuan mengurangi tekanan pada jaringan listrik yang kelebihan beban dan membantu produsen besar seperti Samsung Electronics memenuhi target iklim mereka. Namun, inisiatif ini terhambat oleh kurangnya lahan untuk membangun proyek energi bersih di dekat pabrik.

Tenaga surya dipandang sebagai "teknologi yang paling menjanjikan untuk memulai" skema pembelian langsung ini, kata Cooper.

Namun, meskipun sedang membangun kapasitas energi bersih, Vietnam juga meningkatkan penggunaan batu bara. Hal ini sebagian untuk menggantikan kapasitas tenaga air yang hilang akibat kekeringan, serta untuk memenuhi permintaan listrik yang melonjak akibat perpindahan pabrik dari China ke Vietnam.

Vietnam adalah produsen batu bara terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia. Negara ini juga mengimpor 50 juta ton batu bara dalam tiga kuartal pertama tahun 2024-meningkat 31%, menurut data pemerintah.

Pescia mencatat bahwa banyak pembangkit listrik tenaga batu bara di Vietnam masih relatif baru, dan para operatornya belum sepenuhnya mendapatkan kembali investasinya.

"Penghapusan batu bara di negara seperti Vietnam akan membutuhkan waktu lebih lama," katanya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |