Korupsi Tanpa Batas: Dari Gedung Parlemen Hingga Ruang Kuliah

1 month ago 14
Medan

16 Agustus 202516 Agustus 2025

 Dari Gedung Parlemen Hingga Ruang Kuliah Farid Wajdi. Waspada.id/ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, menyoroti maraknya korupsi di tanah air. Kata dia, pada Jumat (15/8) korupsi tanpa batas dari gedung parlemen hingga ruang kuliah.

Disebutkan, kasus terbaru yang menyeret seorang dosen Universitas Gadjah Mada ke meja hijau—dugaan korupsi Rp7,4 miliar yang kini dibidik Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah—kembali menampar kesadaran publik. Betapa korupsi tidak lagi mengenal batas profesi, status sosial, atau reputasi akademis. Bukan hanya politisi atau pejabat birokrasi, bahkan kalangan intelektual pun ternyata bisa tergoda untuk bermain di wilayah gelap ini.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Jika satu kasus dibuka, benang kusut lain hampir pasti mengikuti. Penegak hukum menyebut sedang “membidik pihak lain”. Inilah potret asli wajah korupsi di Indonesia—ia jarang berdiri sendiri, melainkan hidup dalam jaringan yang rapi, berlapis, dan saling melindungi. Seperti akar ilalang yang menyebar di bawah tanah, publik hanya melihat sedikit di permukaan, sementara sebagian besar mengendap dalam gelap.

Pertanyaannya: mengapa korupsi makin merajalela, padahal kita sudah punya KPK, Polri, Kejaksaan, hingga inspektorat di tiap lembaga pemerintah? Jawaban singkatnya: sistem masih memberi ruang, bahkan insentif, bagi perilaku koruptif. Biaya politik yang mahal memaksa kandidat mencari “balik modal” saat berkuasa. Birokrasi yang gemuk dan tumpang tindih memberi peluang celah perizinan atau proyek fiktif. Penegakan hukum pun kerap tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Lebih ironis lagi, pendidikan dan praktik keagamaan—dua pilar moral bangsa—sering kali berhenti di level seremonial. Pendidikan anti-korupsi ada, tapi tidak menyentuh pembentukan karakter yang konsisten sejak dini. Agama diajarkan, tapi tidak diinternalisasi hingga menjadi benteng perilaku.

Akhirnya, integritas tidak dibangun secara kokoh, melainkan sekadar tempelan yang mudah terkelupas di hadapan peluang dan godaan.
Namun, harapan belum pupus. Banyak negara yang pernah dicengkeram korupsi parah, namun berhasil keluar dari jeratnya.

Syaratnya satu: keberanian politik dan keberanian sosial. Keberanian politik untuk merombak sistem dari hulu—mereformasi pendanaan politik, memperbaiki gaji dan sistem karier ASN, memangkas birokrasi yang lamban dan koruptogenik, mengembalikan kewenangan penuh lembaga pemberantas korupsi agar independen tanpa intervensi.

Keberanian sosial berarti partisipasi publik, keberanian melapor, dan solidaritas menjaga integritas di lingkungan terdekat.
Reformasi ini juga harus menyentuh sektor pendidikan. Pendidikan anti-korupsi tak boleh berhenti pada hafalan definisi gratifikasi.

Ia harus mengasah empati, tanggung jawab, dan keberanian moral siswa. Kita butuh generasi yang bukan hanya cerdas akademis, tetapi punya naluri menolak segala bentuk kecurangan, sekecil apa pun.

Di sisi lain, praktik keagamaan harus direvitalisasi. Bukan sekadar ritual, melainkan sarana pembentukan hati nurani. Di banyak negara, nilai-nilai moral dan spiritual terbukti mampu menjadi pengendali perilaku publik, asalkan tidak berhenti di mimbar atau kitab, melainkan menjejak di kehidupan sehari-hari.

Memerangi korupsi di semua lini bukan pekerjaan mudah. Tapi menyerah bukan pilihan. Penegak hukum dan publik tentu tidak bisa terus-menerus memotong ranting ketika akar busuknya tetap dibiarkan tumbuh. Penindakan penting, tapi pencegahan sistemik jauh lebih vital.

Setiap kasus, termasuk yang kini menjerat akademisi, seharusnya menjadi alarm keras: jika kaum terdidik pun tergelincir, publik tidak bisa lagi mengandalkan sekadar reputasi atau gelar sebagai jaminan integritas. Yang dibutuhkan adalah sistem yang membuat korupsi menjadi mustahil, bukan sekadar berisiko.

Indonesia bisa bersih dari korupsi—bukan karena rakyatnya malaikat, tetapi karena sistemnya membuat kejahatan ini tidak menguntungkan. Masalahnya hanya akan terjadi jika kita berani mengubah, sekarang!(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |