Kita Pendosa, Mari Bertaubat

5 hours ago 1

(Sebuah renungan atas bencana dan perilaku kita)

MUSUH terbesar Aceh adalah membungkus kebodohan dan kemunafikan dengan budaya yang seakan-akan adalah agama, padahal semuanya hanya pola hegemoni “pseudo religion”, atau malah “menjual agama”, agar dapat terus menguasai dan mendominasi kekuatan politik. Tapi sayangnya, kemenangan dan kekuatan politik tanpa dibarengi akhlak politik telah menghancurkan sisi-sisi kehidupan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Penggundulan hutan berpuluh-puluh tahun dibiarkan tanpa ada perlawanan berarti dari kekuatan politik lokal, demi kenyamanan kekuasaan politik lokal melalui perselingkuhan dengan kekuasaan pusat. Aceh menjadi hancur dari segala sisi: sosialnya, alamnya, politiknya, dan budaya-budaya luhurnya.

Sejak dekade ’80–’90-an, proses penghancuran hutan di Aceh sudah dimulai melalui rezim HPH. Walhi Aceh dan aktivis lingkungan sudah bicara lantang soal ini. Tapi semua tahu, uang HPH mengalir sampai jauh ke semua jenis warna baju dan jabatan, bahkan meresap ke semua urat nadi sosial tanpa kecuali. Tidak banyak yang betul-betul serius marah atas pembabatan hutan serampangan, kecuali—harus saya sebut—aktivis lingkungan dan beberapa wartawan pemberani. Mohon maaf, kaum agamawan juga tidak.

Di sisi lain, kehancuran sosial terjadi mulai dari atas hingga ke bawah. Budaya korupsi tumbuh kuat melalui tradisi peureugam, peng rukok, dan peng kupie. Masyarakat kita menjadi materialistis, gampang dibeli saat pemilu, mudah lupa pada kebenaran, suka memuja yang sensasional, dan lalai pada substansi.

Akibatnya, para intelektual mulai tersingkir dari panggung-panggung keputusan politik; digantikan pelawak, penyanyi, avonturir politik, toke-toke (toke apa saja), dan mantan preman yang mengandalkan boh soh, teumenak, dan suka pada kekerasan. Merekalah yang kemudian disebut “pemimpin”. Ruang politik kita kehilangan kecerdasan, kerendahan hati, kezuhudan, dan intelektualitas; digantikan selebritisme, pemujaan pada harta, premanisme, dan materialisme.

Akibatnya, perubahan sosial semakin menuju jurang demoralitas. Bukti terbaru: angka judi online Aceh paling tinggi; muncul hedonisme baru, yaitu suka pesta-pesta dengan kamuflase kata “khanduri”. Lahir pula kecenderungan orang miskin memuja orang kaya dan orang berkuasa, meskipun semua tahu mereka cacat moral dan etika. Tidak peduli mereka toke narkoba sabu-sabu, toke kayu, atau koruptor (yang sudah jadi rahasia umum), selama mereka rajin menyumbang untuk kegiatan pemuda di kampung, tetap disegani.

Perubahan sosial yang sangat menyedihkan terjadi pada beralihnya orientasi publik yang sebelumnya menghormati kezuhudan—para ustaz sederhana, guru, dan dosen yang tawadhu’—kini lebih menyukai politisi yang glamor, kaya raya, artis, dan selebritas yang heboh tanpa isi.

Bahkan dengan Tuhan pun kita berpolitik. Secara spiritual, misalnya, kita menyangkal bahwa bencana demi bencana yang menghantam kita tanpa reda sebenarnya adalah peringatan Tuhan. Tapi kita ngeyel, angkuh, tetap yakin bahwa kita adalah bangsa mulia, yang hidup di bumi aulia, tidak mungkin Tuhan mengazab kita. Sungguh, itu adalah sebuah sikap sombong, dan justru karena itulah kita semua pantas dihukum.

Faktanya sesungguhnya: karunia adalah karunia, dan bala tetaplah bala; berkah tetaplah berkah, dan azab Tuhan tetaplah azab. Tidak akan bercampur di antara keduanya. Bahwa pada suatu titik kita dihukum dan diberikan azab di dunia, meskipun di sisi lain Tuhan tentu menghadiahkan keberkahan dan karunia kepada kita. Tapi janganlah angkuh dan sombong, seakan-akan kita adalah kaum yang paling mulia sehingga Tuhan tidak akan menghukum dan mengazab kita. Terimalah kenyataan: kita dihukum, kita diazab. Karena itu, marilah kita bertaubat; mungkin itu cara terbaik untuk jujur pada diri sendiri.

Tuhan menciptakan air untuk membersihkan segala yang kotor. Dengan air kita berwudu membersihkan raga agar pantas menghadap-Nya. Dengan air kita membersihkan tubuh dari lumpur noda. Dan dengan air Tuhan membersihkan Aceh dari dosa-dosa dan khianat kita. Air dari laut, air dari gunung, air dari segala penjuru menyucikan semesta.

Langkah pertama rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh sesungguhnya adalah: mari bertaubat. Semoga bencana segera menjauhi kita. Aamiin.

Penulis adalah Tokoh Akademisi dan Aktivis.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |