Kemenperin Sebut Industri Otomotif Masih Butuh Insentif, Ini Alasannya

57 minutes ago 2

Jakarta CNBC Indonesia - Kementerian Perindustrian menilai industri otomotif saat ini masih sangat membutuhkan insentif guna memperkuat ekosistem industrinya dari hulu-hilir. Insentif tersebut guna mempertahankan utilisasi produksi, melindungi investasi dan pekerja industrinya dari PHK, serta meningkatkan daya saing produk otomotif dalam negeri.

Saat ini memang penjualan kendaraan EV meningkat signifikan. Penjualan EV melonjak tajam pada periode Januari-Oktober tahun 2025 dibanding periode yang sama tahun lalu.

Namun kenaikan penjualan ini sebagian besar berasal dari kendaraan EV impor. Dari total penjualan kendaraan EV tahun 2025 sebesar 69,146 unit, 73%-nya merupakan kendaraan EV impor produksi dan nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja industrinya berada di negara lain.

Sementara segmen kendaraan lain yang diproduksi di dalam negeri dan memiliki share terbesar dalam pasar industri otomotif nasional terus mengalami penurunan penjualan signifikan, bahkan jauh di bawah jumlah produksi tahunan kendaraan pada segmen tersebut.

"Jadi, keliru jika kita menyatakan industri otomotif sedang dalam kondisi kuat dengan hanya mengandalkan indikator pertumbuhan kendaraan pada segmen tertentu. Penurunan tajam penjualan kendaraan bermotor roda empat jauh di bawah angka produksinya di kala penjualan kendaraan EV impor naik tajam adalah fakta yang tidak bisa dihindari," ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief melalui keterangan tertulis, dikutip Senin (1/12/2025).

"Dan, harus menjadi indikator pertumbuhan industri otomotif nasional saat ini. Kami memandang bahwa dibutuhkan insentif untuk membalikkan keadaan tersebut," imbuhnya.

Selain itu, banyaknya pameran bukan berarti menunjukkan bahwa industri otomotif sedang kuat. Kuat tidaknya industri otomotif nasional hanya bisa disimpulkan berdasarkan data penjualan dan produksi otomotif.

"Banyaknya pameran otomotif di berbagai tempat Indonesia juga bukan ukuran industri otomotif sedang kuat. Sebaliknya, banyak pameran otomotif adalah upaya dan perjuangan industri untuk tetap mempertahankan demand ditengah anjlok penjualan domestiknya dan sekaligus melindungi pekerjanya dari PHK. Sekali lagi, kita harus menggunakan data statistik yang ada untuk menggambarkan kondisi obyektif industri otomotif saat ini dan tidak menggunakan jumlah event pameran otomotif," bebernya.

Febri menyatakan, kebijakan insentif tidak hanya penting bagi pelaku industri, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sebagai konsumen. Menurutnya, insentif akan menciptakan ruang bagi penurunan harga kendaraan, memperbaiki sentimen pasar, serta mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya kelompok kelas menengah dan pembeli mobil pertama yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.

"Walaupun Kemenperin belum merumuskan jenis, bentuk dan target insentif/stimulus, tapi usulannya akan mengarah ke segmen kelas menengah-bawah dan didasarkan pada nilai TKDN," ungkapnya.

Suasana pabrik mobil asal Jepang Toyota. (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)Foto: Suasana pabrik mobil asal Jepang Toyota. (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)
Suasana pabrik mobil asal Jepang Toyota. (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)

Dukungan terhadap rencana pemberian insentif juga datang dari berbagai komunitas otomotif. Founder Xpander Mitsubishi Owners Club (X-MOC) Sonny Eka Putra mengatakan, insentif seharusnya melihat kebutuhan tiap segmen secara spesifik, bukan diberlakukan secara menyeluruh. Dukungan fiskal dari pemerintah harusnya menyasar kendaraan untuk kelas menengah ke bawah.

"Kalau saya ngelihatnya case by case. Ini sebetulnya juga berlaku untuk mobil listrik. Maksudnya insentif itu diperlukan untuk mobil kalangan menengah ke bawah biar tepat sasaran. Kalau yang di segmen atas itu nggak wajib malah," tuturnya.

Akademisi Institut Teknologi Bandung Yannes Pasaribu menyebut dampak tidak adanya insentif akan membuat industri semakin negatif karena akan semakin menghancurkan daya beli middle income class dan memperburuk penjualan mobil low cost green car (LCGC) dan entry level yang harganya tetap tinggi di kisaran Rp140-300 jutaan. Alhasil, pemutusan hubungan kerja diperkirakan berpotensi terjadi.

"Kondisi tersebut kemudian menimbulkan efek domino berupa peningkatan PHK di industri tier-1 sampai tier-4, serta hilangnya multiplier effect nasional yang berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan daya saing global kita," kata Yannes kepada CNBC Indonesia.

Insentif pajak pada sektor otomotif jelas berpotensi merangsang tumbuhnya efek berganda yang meluas. Namun besaran angkanya harus diperhitungkan dengan benar, sebab turunnya harga kendaraan berkorelasi dengan meningkatnya daya beli segmentasi middle income class yang masih terbatas atau konsumen terbesar pembeli mobil di Indonesia, dan ini dapat meningkatkan volume sales.

"Seperti pada tahun 2021, ketika sales mobil naik hingga 68% dibandingkan periode 2020. Peningkatan ini kemudian mendorong produksi domestik dan meningkatnya aktivitas industri pendukung seperti manufaktur komponen dalam negeri," kata Yannes.

Sayangnya saat ini penjualan mobil tengah lesu, data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa penjualan Januari hingga Oktober 2025 mencapai 635.844 unit, turun 10,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Karenanya Ia menolak anggapan bahwa pameran mobil menjadi patokan bahwa industri otomotif sedang kuat

"Kesimpulan bahwa sektor otomotif kita kuat tidak dapat sepenuhnya didasarkan pada indikator pameran otomotif saja, karena pameran lebih merefleksikan potensi minat pasar dan dampak promosi serta banjir diskon ketimbang kinerja ekonomi riil nasional," kata Yannes.

Sementara itu pengamat otomotif Bebin Djuana juga menilai keramaian pameran tidak mencerminkan keseluruhan merek maupun realita pasar. Ia menilai ruang transaksi menjadi indikator yang jauh lebih jujur.

"Pameran bisa dijadikan tapi perlu pengamatan mendalam, kenapa ada yang ramai, laris, sementara ada juga yang dikunjungi sekedar lihat-lihat. Jadi pameran yang ramai, penuh sesak tidak mewakili seluruh merk, cermati ruang transaksi, karena saat ini daya beli dikelas menengah bawah masih lemah," kata Bebin.

Jika industri otomotif bisa kembali bergerak normal, dampaknya akan jauh melampaui sekadar pemulihan penjualan. Industri ini memiliki efek bola salju ke ratusan sektor pendamping, mulai dari manufaktur sampai distribusi. Ia menegaskan bahwa target dua juta unit bukanlah mimpi kosong, asalkan pemerintah memberikan dukungan yang nyata.

"Jika industri ini mulai bisa bergulir kembali harapannya bukan hanya kembali seperti sediakala, tapi menjadi lebih baik dan lebih kuat sehingga cita-cita bisa merengkuh angka penjualan 2juta unit!" ujarnya.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sudah menyebut bahwa insentif otomotif tidak masuk ke dalam skema insentif di tahun depan.

"Insentif tahun depan tidak ada. Karena industrinya sudah cukup kuat. Apalagi sudah pameran di sini, kuat banget," katanya Rabu (26/11/2025)

(fys/wur)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |