Keabadian sang Raja: Dunia Bertumpu pada Wangi Cengkeh Indonesia

8 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia adalah raja cengkeh dunia. Dari tanah vulkanik Maluku, Sulawesi, hingga Jawa, negeri ini menumbuhkan lebih dari separuh produksi global cengkeh rempah kuno yang pernah menjadi alasan bangsa-bangsa Eropa berlayar ribuan mil.

Menurut data Bdan Pangan Dunia (FAO) dan International Trade Center/ITC (2023-2024), Indonesia memproduksi sekitar 120.000-135.000 ton cengkeh per tahun, menjadikannya produsen terbesar dunia. Keunggulan ini bukan hanya soal volume, tapi juga kualitas. Kandungan eugenol pada cengkeh Indonesia sangat tinggi, menghasilkan aroma tajam yang dicari industri kuliner, farmasi, hingga parfum.

Pulau-pulau seperti Maluku dijuluki "Spice Islands" masih menjadi sentra produksi, bersama Sulawesi Utara dan Jawa Timur. Dari total panen nasional, lebih dari 70% diserap industri kretek dalam negeri, sementara sisanya diekspor ke India, Timur Tengah, hingga Eropa.

Sebagai perbandingan, negara produsen lain seperti Madagascar hanya menghasilkan 25.000-30.000 ton per tahun, disusul Tanzania 20.000-23.000 ton, dan Sri Lanka yang lebih kecil lagi. Artinya, produksi Indonesia lima kali lipat lebih besar daripada pesaing terdekatnya.

Kontribusi Domestik: Cengkeh untuk Kretek

Yang menarik, meski raja global, Indonesia bukan eksportir terbesar. Sebagian besar cengkeh habis untuk konsumsi domestik khususnya industri kretek, yang menjadi identitas budaya sekaligus penggerak ekonomi.

Sebagai perbandingan, produksi tembakau nasional yang menopang kretek justru menurun: dari 269,8 ribu ton pada 2019 menjadi hanya 238,8 ribu ton pada 2023 (BPS). Sebaliknya, produksi cengkeh relatif stabil, hanya turun tipis dari 139 ribu ton pada 2019 menjadi 134,1 ribu ton pada 2023. Stabilitas ini menjaga suplai untuk industri rokok dan ekspor minyak atsiri.

Mengapa produksi Indonesia tetap stabil meski permintaan global meningkat? Alasannya karena pasar dalam negeri menyerap sebagian besar produksi. Kretek membutuhkan campuran 30% cengkeh dan 70% tembakau. Saat produksi tembakau turun, industri rokok masih mengandalkan cengkeh untuk menjaga rasa dan aroma khas.

Dari sudut pandang ekonomi, ketergantungan pada pasar domestik membuat ekspor cengkeh Indonesia relatif terbatas, sehingga negara seperti Madagascar justru lebih agresif di pasar ekspor meski produksinya lebih kecil.

Keunggulan Indonesia sebagai "raja cengkeh" tak hanya bernilai sejarah, tapi juga strategis. Industri minyak atsiri berbahan baku cengkeh terus tumbuh, memasok bahan untuk obat-obatan herbal, antiseptik, hingga parfum. Namun potensi ekspor murni masih belum maksimal karena sebagian besar hasil panen diserap untuk kretek.

Di luar Indonesia, beberapa negara Afrika dan Samudra Hindia memainkan peran penting dalam perdagangan cengkeh. Madagascar adalah pemain kedua terbesar, dengan produksi 25.000-30.000 ton per tahun. Sebagian besar cengkeh dari wilayah Sambava diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Cengkeh Madagascar dikenal karena aroma manis yang kaya, meski kadar minyak atsirinya sedikit di bawah cengkeh Indonesia.

Tanzania, khususnya Zanzibar, memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan rempah sejak era kolonial. Produksinya kini turun menjadi 20.000-23.000 ton per tahun, tetapi kualitasnya tetap dicari karena cita rasanya yang kuat. Negara ini masih menjadi pemasok penting untuk pasar Eropa dan Timur Tengah.

Sementara itu, Sri Lanka dan Comoros berperan sebagai produsen premium dengan volume kecil. Sri Lanka menghasilkan sekitar 9.000-11.000 ton per tahun, banyak digunakan dalam pengobatan Ayurveda dan masakan tradisional Asia Selatan. Sedangkan Comoros, meski hanya menghasilkan 5.000-6.500 ton, menjadikan cengkeh sebagai sumber pendapatan ekspor utama. Negara-negara ini mengandalkan metode panen manual dan pengeringan alami untuk menjaga kualitas.

Jika kita melihat struktur pasar global, terlihat jelas bahwa produksi Indonesia mendominasi lebih dari separuh suplai dunia. Negara lain seperti Madagascar dan Tanzania lebih bergantung pada ekspor karena konsumsi domestik mereka rendah. Ini berbeda dengan Indonesia, di mana lebih dari 70% produksi terserap untuk industri kretek dalam negeri, membuat ekspor cengkeh RI tidak sebanding dengan kapasitas produksinya.

Selain itu, negara-negara kecil seperti Kenya, India, Brasil, dan Malaysia hanya menghasilkan volume terbatas, biasanya untuk konsumsi lokal atau ekspor niche seperti cengkeh organik. Dengan demikian, meskipun ada beberapa pemain di pasar, Indonesia tetap tak tergantikan dalam ekosistem global cengkeh.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |