Ironi Penyebab Bencana

2 hours ago 1

Oleh: Farid Wajdi

Air bah di Sumatera pada penghujung 2025 tidak sekadar merendam kampung dan sawah. Arus besar itu membawa gelondongan kayu, seperti balok raksasa dengan serpihan bekas gergaji yang mengilap seperti luka terbuka.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Setiap potongan menjadi saksi bisu kerusakan yang selama ini tertutup kabut administrasi. Ketika banjir meluncur deras, publik melihat sesuatu yang lebih terang daripada laporan pejabat: hutan hulu dipangkas tanpa kendali.

KLHK menegaskan dalam konferensi pers yang disiarkan Metro TV (2025) kayu yang hanyut bukan pohon tumbang alami. Bekas mesin terlihat jelas, seakan menghapus narasi yang sebelumnya dilepas ke udara oleh pejabat lain.

Namun tak lama setelah penjelasan itu, seorang Dirjen di Kementerian Kehutanan menyodorkan argumen lain. Dalam keterangan yang dikutip media nasional (2025), ia menyebut banjir sebagai “peristiwa cuaca ekstrem,” tanpa menyinggung gelondongan yang muncul berjajar sepanjang aliran sungai. Komentar itu mengambang, seolah banjir membawa balok besar tanpa sumber jelas.

Di Sumatera Utara, Pangdam I/BB angkat suara dalam nada berbeda. Penjelasannya yang dirilis media lokal (2025) menekankan kondisi tanah jenuh air dan hujan intens. Ia menyebut bencana ini sebagai “kejadian hidrologis yang tak terhindarkan.” Pernyataan tersebut menutup mata terhadap bukti keras yang ditemukan aparat gabungan: 27 sampel kayu dari DAS Garoga yang dikumpulkan KLHK, Polri, dan Kemenhut, dilaporkan Media Indonesia (2025). Hasil awal mengarah ke pembukaan lahan dan penebangan aktif di area hulu.

Lapisan pernyataan itu tumpang tindih, saling menutup dan saling melemah. Pejabat dengan mudah menafsir skala bencana tanpa menengok data. Di sisi lain, KLHK membekukan sementara empat perusahaan besar untuk audit lingkungan, termasuk PT Toba Pulp Lestari dan PT Agincourt Resources, diberitakan BertuahPos (2025).

Langkah ini memberi isyarat adanya dugaan kuat praktik yang memperburuk keadaan. Namun ruang publik keburu dijejali komentar asal bunyi yang mengaburkan fokus.

Gelombang penjelasan spontan dari berbagai instansi memperlihatkan cacat besar dalam manajemen informasi negara. Alih-alih meredam keresahan publik, pernyataan itu justru menambah simpang siur. Setiap suara nampak bekerja sendiri-sendiri, lebih sibuk menciptakan narasi protektif untuk lembaga masing-masing daripada merumuskan pemahaman komprehensif.

Padahal seluruh bukti lapangan bergerak menuju kesimpulan yang tak bisa dipoles kata-kata: hulu DAS kehilangan daya tahan ekologis. Peneliti IPB, Hariadi Kartodihardjo (2021), menegaskan kerusakan kecil di hulu akan memperbesar risiko bencana di hilir.

Johan Rockström (2015) menyebut deforestasi sebagai pemicu instabilitas hidrologis regional. Dua pandangan ilmuwan ini memberikan pijakan kokoh, sesuatu yang jarang muncul dari pernyataan para pejabat yang meluncur terburu-buru tanpa data memadai.

Kontradiksi antarinstansi memperlihatkan kerapuhan tata kelola lingkungan. Hutan yang seharusnya berfungsi menyerap air dan mengunci tanah justru mengalami penggundulan sistematis.

Banyak area hulu telah dilepas melalui izin resmi. Izin yang rapi secara administrasi sering diperlakukan sebagai legitimasi penuh, meski secara ekologis kawasan itu rapuh dan tak layak untuk eksploitasi. Ketika banjir mengangkut gelondongan dari wilayah berizin, publik menyaksikan paradoks: hukum mengizinkan kegiatan yang menghancurkan daya tampung lingkungan.

Perbedaan suara pejabat memperburuk keadaan karena menciptakan ilusi penyebab ganda. Seolah bencana hanyut dari berbagai sumber tanpa satu inti persoalan. Padahal inti itu tegas: kerusakan ekologis yang lama dibiarkan. Kelalaian kebijakan yang mengendap di hulu akhirnya tumpah ke hilir, menghantam rumah warga dalam bentuk air bercampur kayu.

Menteri Lingkungan Hidup mengakui persoalan tata ruang, sebuah pengakuan yang dicatat Media Indonesia (2025). Nada pengakuannya menjadi kontras dibanding pernyataan pejabat lain yang sibuk mencari penjelasan instan. Pengakuan saja belum cukup. Penyelarasannya menuntut reformasi yang menyentuh inti masalah: pembatasan ketat izin di hulu, penghapusan konsesi yang bertentangan dengan daya dukung lingkungan, serta pengawasan lapangan yang tak bisa disubkontrakkan pada laporan kertas.

Dari sudut ekoteologi, tragedi ini menyimpan ironi lebih dalam. Manusia sebagai khalifah sebagai penjaga bumi, memiliki tanggung jawab moral yang melampaui kerangka regulasi. Ketika hutan dirusak melalui mekanisme legal, legitimasi moral runtuh. Administrasi mungkin memberikan izin, tetapi alam tak pernah menyetujui perusakan yang merampas kemampuan ekosistem menopang kehidupan.

Gelondongan kayu yang menghantam jembatan dan rumah warga menjadi simbol paling keras dari ironi itu. Potongan kayu itu bukan benda mati. Ia mengangkat cerita panjang tentang pengawasan lemah, perizinan longgar, dan pejabat yang terampil menyusun pernyataan defensif sambil abai pada akar persoalan.

Bencana di Sumatera bukan akhir, tetapi peringatan. Jika hulu DAS tak dipulihkan dengan reforestasi besar, rehabilitasi kawasan kritis, dan moratorium izin baru di area sensitif, tragedi serupa akan kembali datang.

Pejabat mungkin kembali mengeluarkan komentar yang saling bertabrakan. Alam akan menjawab dengan suara yang jauh lebih keras.

Gelombang air bisa surut, tetapi luka ekologis tetap menahan napas di hulu. Di sana, hutan menunggu langkah tegas, bukan sekadar rangkaian pernyataan yang lahir tergesa-gesa.

Jika perubahan kebijakan muncul dengan keberanian penuh, bencana ini dapat menjadi titik balik. Jika tidak, gelondongan kayu akan kembali meluncur dari hulu, membawa pesan yang sama, hanya lebih tajam, lebih tragis, lebih menuntut.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |