Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Selama 32 tahun Orde Baru, Soeharto selaku presiden memegang kendali penuh atas kekuasaan. Namun, menjelang akhir rezimnya, dia mulai kehilangan kendali atas pilar-pilar utama Orde Baru, termasuk intelijen.
Adanya perubahan dalam struktur intelijen di era 1990-an hingga respons yang kurang tepat menghadapi situasi keamanan era itu. Tata kelola intelijen yang dijalankan selama Orde Baru terbukti memberikan stabilitas nasional bagi pemerintahan Soeharto, meskipun membutuhkan waktu untuk menyelaraskan berbagai organisasi intelijen.
Pemerintah Orde Baru menjadikan intelijen sebagai ujung tombak yang menopang berbagai kebijakan, terutama di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan.
"Stabilitas adalah kunci pembangunan, dan untuk itu, kita harus tahu segala sesuatu yang terjadi." - Soeharto
Awal Orde Baru pada 1966-1968 menunjukkan tata kelola intelijen yang buruk di akhir era Presiden Soekarno tidak hanya menyebabkan jatuhnya kekuasaan yang telah bertahan selama 22 tahun, tetapi juga berdampak buruk bagi pemerintahan karena kurangnya informasi dan analisis yang akurat mengenai situasi strategis, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada masa itu, terdapat berbagai organisasi intelijen seperti intelijen tentara, intelijen kepolisian, dan BPI (Badan Pusat Intelijen).
Situasi politik pada era 1960-an berada dalam suhu yang panas, baik dalam negeri maupun luar negeri. Kecenderungan politik Presiden Soekarno yang condong ke Blok Timur, pembentukan poros Jakarta-Peking, keluarnya Indonesia dari PBB, konfrontasi dengan Malaysia, serta ketegangan antara Angkatan Darat dan PKI (Partai Komunis Indonesia), ditambah situasi ekonomi yang tidak stabil, semakin memperumit keadaan.
Hal tersebut memengaruhi moral anggota intelijen yang akhirnya ikut terseret dalam politik praktis, sehingga terjadi manipulasi informasi intelijen oleh masing-masing badan.
Persaingan antarbadan intelijen juga tidak bisa dihindarkan, terutama antara BPI dan Angkatan Darat. BPI yang dipimpin oleh Dr. Subandrio cenderung dekat dengan pihak komunis, sedangkan Angkatan Darat bersikap anti-komunis. Keduanya menjadi alat bagi Soekarno untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ketika Gerakan 30 September 1965 (Gestapu) meletus, kedua badan intelijen mengambil sikap berlawanan. Angkatan Darat mengambil langkah tegas terhadap pihak komunis, sedangkan BPI akhirnya dipreteli dan dilikuidasi menjadi KIN (Komando Intelijen Negara).
Struktur Intelijen di Era Orde Baru
Untuk memastikan stabilitas pemerintahan, Soeharto membangun sistem intelijen yang luas dan terkoordinasi. Berikut adalah delapan badan intelijen utama yang berperan dalam menjaga keamanan dan kontrol politik di era Orde Baru:
1. BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara)
Bertanggung jawab mengintegrasikan berbagai unsur intelijen dari militer, kepolisian, dan sipil. Lembaga ini berperan dalam pengumpulan informasi strategis untuk pemerintah.
2. BAIS (Badan Intelijen Strategis)
Berada di bawah TNI, BAIS berfokus pada intelijen militer dan keamanan nasional, termasuk pengawasan terhadap ancaman dalam maupun luar negeri.
3. KOPKAMTIB (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban)
Bertugas menjaga stabilitas politik dan keamanan, terutama dalam mengawasi serta menindak kelompok yang dianggap mengancam pemerintahan, termasuk sisa-sisa simpatisan komunis.
4. OPSUS (Operasi Khusus)
Sebuah unit intelijen yang bersifat rahasia dan fleksibel, OPSUS berfokus pada operasi politik, termasuk penggalangan dukungan terhadap kebijakan pemerintah.
5. Dit. Intelpampol (Direktorat Intelijen Pengamanan Polisi-POLRI)
Berperan dalam pemantauan keamanan dalam negeri, terutama dalam menjaga ketertiban masyarakat dan mencegah potensi gangguan politik dari tingkat lokal hingga nasional.
6. Ditjen Sospol (Direktorat Jenderal Sosial Politik-Kemendagri)
Menjalankan fungsi intelijen politik untuk mengawasi aktivitas politik di berbagai lapisan masyarakat, termasuk kontrol terhadap partai politik dan organisasi masyarakat.
7. JAM Intel (Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen-Kejaksaan Agung)
Memiliki fungsi intelijen di bidang hukum, termasuk pemantauan terhadap kasus-kasus yang dianggap berpotensi mengganggu stabilitas negara.
8. Lemsaneg (Lembaga Sandi Negara)
Bertanggung jawab atas keamanan komunikasi dan informasi pemerintah melalui intelijen elektronik serta sistem persandian negara.
Delapan badan ini menjadi tulang punggung Orde Baru dalam mengamankan seluruh kepentingannya, sehingga satuan intelijen menjadi pelaksana utama operasi dalam negeri. Pola Soeharto dalam merekrut figur politik dan keamanan sangat selektif, dengan penyaringan ketat melalui BAKIN serta hubungan personal, sehingga memudahkan pemilihan pejabat strategis yang dipercaya.
Melemahnya Intelijen di Akhir Orde Baru
Menjelang akhir era Orde Baru, efektivitas intelijen mulai dipertanyakan, terutama karena gerakan reformasi yang tidak terdeteksi dengan baik oleh sistem intelijen yang ada. Beberapa faktor utama yang menyebabkan melemahnya intelijen pada masa ini antara lain:
1. Perbedaan Generasi dalam Rekrutmen
Jika di awal pemerintahannya Soeharto mengenal secara pribadi sosok-sosok yang menempati posisi politik dan keamanan, di akhir Orde Baru hal ini berubah. Usia Soeharto yang sudah lanjut menyebabkan metode seleksi berbasis kedekatan pribadi tergantikan oleh faktor loyalitas tanpa mempertimbangkan kompetensi.
2. Pemilihan Kepala Intelijen yang Tidak Tepat
Banyak kepala badan intelijen yang tidak memiliki latar belakang intelijen, ditambah dengan berkurangnya bantuan pelatihan dan instruktur asing, sehingga memengaruhi kualitas personel dan peralatan.
3. Pergeseran Ancaman Pasca Perang Dingin
Ancaman keamanan berubah, tetapi sistem intelijen masih berorientasi pada pola lama, sehingga kesulitan dalam menyesuaikan strategi terhadap tantangan baru.
4. Fokus pada Ancaman Domestik
Ancaman terhadap Indonesia lebih banyak berasal dari dalam negeri, seperti gerakan separatisme dan meningkatnya demonstrasi pro-demokrasi, tetapi pendekatan represif semakin sulit dilakukan karena perubahan zaman yang lebih terbuka serta tekanan internasional.
5. Kurangnya Informasi dalam Merespons Gerakan Mahasiswa
Pemerintah tidak memanfaatkan intelijen secara maksimal dalam merespons gerakan mahasiswa, sehingga keputusan yang diambil sering kali tidak berbasis informasi yang lengkap.
6. Strategi yang Lebih Lunak
Pembubaran Kopkamtib dan penggantian dengan Bakorstanas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional) mengurangi efektivitas kontrol politik, karena pendekatan yang lebih lunak tidak cukup untuk meredam gejolak politik.
Melemahnya intelijen pada akhir Orde Baru berkontribusi pada tumbangnya kekuasaan Soeharto, karena negara kehilangan kemampuan untuk membaca dan merespons dinamika sosial-politik yang berkembang pada saat itu. Dengan demikian, peran intelijen dalam Orde Baru bukan hanya alat stabilitas, tetapi juga instrumen kontrol politik yang sangat menentukan jalannya pemerintahan.
(miq/miq)