Inilah Alasan 'Shutdown Goverment' AS Jadi Yang Terlama Sepanjang Masa

2 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Penutupan sebagian pemerintahan atau government shutdown Amerika Serikat (AS) yang dimulai sejak 1 Oktober 2025 telah tercatat menjadi yang terpanjang sepanjang sejarah dengan berlangsung hingga lebih dari 40 hari.

Kebuntuan ini menyebabkan kegiatan pemerintah lumpuh, ratusan ribu pegawai tidak menerima gaji, dan beberapa layanan publik terhenti.

Hal yang seharusnya menjadi proses rutin pengesahan anggaran tahunan berubah menjadi pertarungan politik berkepanjangan antara Partai Demokrat, Partai Republik, dan Gedung Putih. Dari perdebatan alokasi dana kesehatan hingga tarik-menarik kekuasaan di Senat, seluruh rangkaian ini menunjukkan betapa sulitnya mencari jalan keluar di pusat pemerintahan Amerika.

Berikut ini adalah lima faktor utama yang membuat shutdown 2025 menjadi yang terpanjang dalam sejarah AS, mulai dari kebuntuan politik antarpartai, perpecahan di tubuh Partai Republik, hingga intervensi langsung Presiden Donald Trump yang memperkeruh proses negosiasi.

1. Kebuntuan Politik antara Demokrat dan Republik Tentang Prioritas Pengeluaran

Akarapermasalahan penutupanpemeritnahanAS ini dimulai darigagalnyakongres menyetujui anggaran tahun fiskal 2026. Perdebatan terjadi antara Partai Demokrat dengan Partai Republik terkait dengan alokasi anggaran sosial dan juga anggaran kesehatan.

Partai Demokrat menuntut agar subsidi dalam program Affordable Care Act (ACA) untuk diperpanjang demi melindungi jutaan warga AS dari kenaikan premi asuransi. Sementara itu, Partai Republik menolak keras keinginan Demokrat karena dinilai program tersebut membebani fiskal negara dan tidak efisien.

Dua rancangan undang-undang pendanaan yang sama-sama gagal memperoleh mayoritas suara di Senat pada tenggat waktu 30 September silam. Kegagalan inilah yang membuat terjadinya penutupan sementara pemerintah AS pada 1 Oktober 2025, yang menjadi titik awal kebuntuan politik AS yang berlarut-larut.

2. Perpecahan Internal di Tubuh Partai Republik

Selain itu, konflik internal di tubuh Partai Republik (GOP) turut memperpanjang permasalahan penutupan pemerintahan AS ini.

Meski secara jumlah, Partai Republik menguasasi mayoritas di Kongres AS, namun perbedaan pandangan inilah membuat upaya mencari solusi politik berjalan sangat lambat.

Sebagian kelompok di dalam GOP mendorong kompromi jangka pendek agar layanan publik bisa kembali beroperasi, sementara beberapa yang lain justru mendesak pengetatan belanja dan penghapusan subsidi sosial secara secara menyeluruh atau total.

Perbedaan pandangan Ketidaksatuan strategi ini membuat House of Representatives atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR AS) yang diketuai oleh Mike Johnson tidak mampu menghasilkan posisi negosiasi yang solid terhadap Senat maupun Gedung Putih.

Bahkan selama dua minggu pertama shutdown, DPR hampir tidak menggelar sidang reguler, memperburuk stagnasi proses legislasi.

3. Mekanisme Filibuster yang Memperlambat Proses Legislasi

Salah satu hambatan terbesar ada di Senat Amerika Serikat. Aturan filibuster, yang mensyaratkan minimal 60 suara untuk meloloskan rancangan undang-undang pendanaan (continuing resolution/CR) membuat proses pengambilan keputusan menjadi sangat lambat.

Dalam praktiknya, meskipun satu partai memegang mayoritas, setiap proposal tetap membutuhkan dukungan bipartisan agar bisa maju ke tahap voting final. Sepanjang periode shutdown ini, Senat tercatat 14 kali gagal melakukan pemungutan suara untuk mengesahkan CR yang diperlukan agar pemerintahan bisa kembali beroperasi.

Filibuster sendiri adalah mekanisme prosedural yang memungkinkan satu atau sekelompok senator berbicara selama berjam-jam di lantai Senat untuk menunda atau menggagalkan voting atas suatu rancangan undang-undang. Berdasarkan Senate Rule XXII, sedikitnya 16 senator harus mengajukan mosi "cloture" untuk mengakhiri filibuster tersebut. Namun, mosi baru dapat disetujui bila minimal 60 senator memberikan suara setuju.

Artinya, hampir semua urusan di Senat bahkan hal-hal teknis seperti membawa RUU ke sidang, menunda sidang, atau sekadar menutup sesi harian, bisa tersandera jika tidak ada dukungan lintas partai yang cukup.

Menurut data Pew Research Center, Senat memang masih bisa melanjutkan agenda lain sambil menunggu hasil filibuster, tetapi proses utama legislasi tetap tertahan hingga kesepakatan tercapai.

Akibat berlarutnya situasi tersebut, ratusan ribu pegawai federal tidak menerima gaji, dana bantuan pangan (SNAP) untuk 42 juta warga menipis, dan layanan publik seperti transportasi udara, imigrasi, serta keamanan bandara terganggu cukup parah.

4. Kurangnya Inisiatif DPR dalam Mencari Jalan Keluar

Selain lambatnya proses di Senat, DPR AS juga dinilai gagal dalam memainkan perannya sebagai pencari jalan keluar dalam kondisi krisis politik seperti ini. Sejak awal Oktober, DPR AS justru menghentikan masa sidangnya setelah menyetujui rancangan anggaran sementara "clean bill", namun rancangan tersebut tidak pernah dibahas lebih lanjut di senat yang membuat kebuntuan anggaran tetap berlanjut.

Padahal, dalam sejarah penutupan pemerintahan sebelumnya, DPR AS sering berperan aktif menengahi kebuntuan dengan melahirkan RUU alternatif.

Namun kali ini, minimnya komunikasi antar partai dan tekanan politik internal membuat DPR AS lebih memilih menunggu langkah Senat ketimbang menginisiasi solusi baru untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Situasi tersebut membuat krisis berlarut hingga awal November tanpa perkembangan berarti, bahkan ketika lebih dari 500.000 pegawai federal sudah melewatkan dua kali jadwal gajian yang tidak dibayarkan.

5. Eskalasi Politik Akibat Intervensi dari Gedung Putih

Shutdown makin berkepanjangan ketika Presiden Donald Trump turun langsung ke medan negosiasi pada akhir Oktober 2025.

Sepulang dari lawatan luar negeri, Trump menyerukan agar Senat menghapus mekanisme filibuster agar Partai Republik bisa secara sepihak membuka kembali pemerintahan.

Namun langkah itu segera ditolak oleh Pemimpin Mayoritas Senat John Thune, yang menilai usulan tersebut berpotensi merusak tatanan legislatif.

Akibatnya, bukan solusi yang muncul, justru ketegangan politik meningkat hingga membuat posisi kompromi antar partai semakin menjauh.

Hingga akhirnya, pada 9 November 2025, setelah 40 hari kebuntuan, delapan senator dari Partai Demokrat memutuskan setuju dengan Republik untuk meloloskan RUU berisi pendanaan sementara hingga 30 Januari 2026.

Kesepakatan itu diharapkan bisa menjadi akhir dari shutdown terpanjang dalam sejarah AS

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |