Jakarta, CNBC Indonesia - Februari gloomy, rasanya ini tepat untuk menggambarkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang semakin terpuruk.
Pada perdagangan Jumat hari ini (28/2/2025) yang sekaligus mengakhiri bulan Februari per sesi I, IHSG bertengger di posisi 6.300,14, sudah turun 185.3 poin atau setara minus 2,86%.
Kejatuhan IHSG hari ini memperpanjang daftar panjang tren turun dalam sebulan terkhir menjadi 11,38%. Penurunan tajam indeks pasar saham ini rasanya seperti flashback pada Februari 2020 di mana IHSG jatuh 8,20%.
Jadi, bisa dibilang penurunan IHSG pada bulan Februari ini lebih parah dibandingkan Februari 2020 lalu.
Secara teknikal, ada teori mengatakan "history must repeat itselft". Pada 2020 waktu itu ada Pandemi Covid-19 yang membuat pasar saham gonjang ganjing dengan bottom market terjadi pada Maret.
Jika pergerakan pasar tahun ini mirip seperti 2020 lalu, maka potensial kejatuhan IHSG ini tidak akan berakhir pada Februari saja, yang artinya the worst case bisa berlangsung sampai Maret tahun ini.
Foto: Tradingview
IHSG
Namun, kita perlu pahami bahwa bottom market ini tidak ada yang bisa menebak secara pasti. Secara teknikal, kami melihat IHSG saat ini sedang menguji support sesuai dengan garis rata-rata selama 100 monthly di level 6300.
Patut diantisipasi jika level support tersebut di tembus turun lagi, maka support selanjutnya akan berada di level 6000. sesuai dengan level terendah Mei 2021.
Meski begitu, menilai IHSG yang sudah turun tajam dalam beberapa hari terakhir ini tentu juga menyimpan peluang rebound jangka pendek. Hal ini bisa dicermati untuk level resistance saat ini berada di 6500, yang sebelumnya merupakan support yang sudah ditembus.
Dari segi sentimen sejauh ini memang minim katalis untuk menguat. Pelaku pasar masih mengantisipasi sejumlah hal yang akan rilis seperti PCE Amerika Serikat (AS) dan berlanjut ke awal Maret seperti data inflasi sampai PMI Manufaktur di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sejauh ini, pasar juga mengantisipasi pelemahan dari sejumlah indikator ekonomi AS, mengingat banyak terjadi PHK yang potensial membuat angka pengangguran naik. Padahal, saat ini negeri Paman Sam tersebut tengah mengalami perlambatan ekonomi dan pengetatan inflasi lagi. Di sini pasar mengantisipasi terjadinya stagflasi mengancam AS.
Sementara itu, dari dalam negeri kita masih menghadapi sejumlah ketidakpastian dari regulasi di beberapa sektor, seperti penantian penurunan royalti batu bara, iuran MIP, dan lain-lain. Selain itu, pelaku pasar masih memonitor efek dari lembaga investasi baru kita yakni Danantara dan bank emas baru bagi pergerakan pasar modal Tanah Air.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)