Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak hancur lebur pada April 2025. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif harga minyak di era Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Merujuk Refinitiv, harga minyak brent pada perdagangan terakhir April, Rabu (30/4/2025) ditutup di posisi US$ 63,12 per barel. Harga ini jatuh 1,8% dibandingkan hari sebelumnya.
Pelemahan ini juga memperpanjang tren negative harga minyak yang ambruk 5,6% dalam empat hari beruntun. Harga kemarin juga menjadi yang terendah sejak 8 April 2025. Level harga minyak brent yang sekarang di US$ 63 adalah yang terendah sejak April 2021 atau empat tahun lalu di masa-masa di mana dunia dihantam pandemi Covid-19. Hal negative yang sama juga terjadi pada minyak WTI. Pada perdagangan kemarin,harga minyak brent ambruk 3,66% ke US$ 58,21 per barel. Harga minyak brent sudah ambruk 7,6% dalam empat hari terakhir. Harga penutupan kemarin juga menjadi yang terendah sejak pertengahan April 2021 di masa periode Covid-19. Harga minyak belum juga membaik hari ini. Harga minyak brent pada hari ini, Kamis (1/5/2025) pukul 07.30 WIB ada di posisi US$ 61,29 per barel atau melemah 2,9% sementara WTI menguat 0,31% ke US$ 58,39 per barel.
Harga minyak babak belur karena adanya beberapa anggota OPEC+ akan mengusulkan agar kelompok tersebut mempercepat peningkatan produksi minyak pada bulan Juni untuk bulan kedua berturut-turut.
Selain itu, ekonomi AS juga terkontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pada kuartal pertama, dibanjiri oleh gelombang impor karena bisnis berlomba menghindari biaya tarif yang lebih tinggi.
AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga kontraksi ekonomi bisa menyebabkan pelemahan permintaan minyak. Pelemahan ekonomi AS dikhawatirkan merembet ke negara lain sehingga permintaan energi menurun.
Tarif yang diberlakukan Trump telah meningkatkan kemungkinan ekonomi global akan tergelincir ke dalam resesi tahun ini.
Prospek permintaan yang suram akibat sengketa dagang antara AS dan China, ditambah keputusan OPEC+ untuk mengakhiri pembatasan pasokan, akan menekan harga minyak tahun ini.
Survei Reuters terhadap 40 ekonom dan analis pada bulan April memperkirakan harga rata-rata minyak Brent sebesar $68,98 per barel pada tahun 2025, turun dari perkiraan bulan Maret sebesar $72,94. Minyak mentah AS diperkirakan akan rata-rata $65,08 per barel, lebih rendah dari proyeksi bulan lalu sebesar $69,16.
April Menandai Makin Ambruknya Harga Minyak
Secara bulanan, harga minyak ambruk 15,6% dalam sebulan pada April 2025. Pelemahan ini adalah yang terburuk sejak November 2021.
Penurunan harga minyak mentah dunia terjadi sejak masa jabatan kedua Trump. Sejak Trump dilantik pada 20 Januari 2025 hingga hari ini, harga minyak brent sudah ambruk 24,2% sementara WTI jatuh 25%.
Perusahaan jasa ladang minyak Baker Hughes, Halliburton, dan SLB memperingatkan bahwa investasi dalam eksplorasi, pengeboran, dan produksi akan melambat tahun ini karena jatuhnya harga minyak. Saham Baker Hughes dan SLB turun lebih dari 20% sejak pelantikan Trump sementara Halliburton merosot 32%.
Sektor energi S&P 500 telah turun lebih dari 11% sejak 20 Januari, lebih dari penurunan pasar yang lebih luas yang hampir 8%.
CEO SLB Olivier Le Peuch mengatakan kepada investor minggu lalu bahwa tarif Trump menyebabkan ketidakpastian ekonomi yang dapat merugikan permintaan, sementara kelompok produsen yang dikenal sebagai OPEC+ mempercepat pasokan lebih cepat dari yang diantisipasi sebelumnya.
"Dalam lingkungan ini, harga komoditas menghadapi tantangan dan sampai harga stabil, pelanggan cenderung mengambil pendekatan yang lebih hati-hati terhadap aktivitas jangka pendek dan pengeluaran diskresioner," ujar Le Peuch.
Pengeboran Berkurang
Pasar minyak bumi Amerika Utara menghadapi risiko penurunan yang lebih besar daripada pasar minyak di seluruh dunia karena produksi minyak di darat di AS lebih sensitif terhadap harga komoditas, menurut CEO SLB.
Baker Hughes memperkirakan investasi hulu global dalam eksplorasi dan produksi akan menurun hingga satu digit tahun ini dibandingkan dengan tahun 2024, dengan pengeluaran di Amerika Utara turun hingga dua digit, menurut CEO Lorenzo Simonelli.
"Prospek pasar minyak yang kelebihan pasokan, kenaikan tarif, ketidakpastian di Meksiko, dan melemahnya aktivitas di Arab Saudi secara kolektif membatasi tingkat pengeluaran hulu internasional," ujar Simonelli, kepada CNBC International.
Namun, situasinya masih belum pasti, dengan sedikit gambaran tentang apa yang akan terjadi pada paruh kedua tahun ini, terutama untuk kegiatan yang lebih sensitif secara ekonomi seperti pengeboran dan penyelesaian sumur, menurut kepala Baker Hughes. Bahkan ada risiko bahwa prospek dapat memburuk lebih jauh, katanya.
"Harapan ini mengasumsikan stabilisasi harga minyak di sekitar level saat ini dan tarif berlaku pada tingkat jeda 90 hari saat ini. Penurunan harga minyak yang berkelanjutan atau tarif yang memburuk akan menimbulkan risiko penurunan lebih lanjut pada prospek ini."," menurut Simonelli kepada CNBC International.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)