Melihat Angka Pengangguran RI di Momen Hari Buruh

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak semua yang bangun pagi dan berseragam rapi itu bekerja. Di hari buruh, banyak orang yang menaruh harapan mendapatkan pekerjaan sesegera mungkin. Di balik statistik ketenagakerjaan Indonesia, ada jutaan orang yang menunggu giliran untuk bisa menyambung hidup lewat pekerjaan yang layak. Mereka bukan malas, bukan bodoh, hanya belum mendapat tempat di arena kerja yang makin ketat. Inilah wajah nyata pengangguran di Indonesia.

Menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, sudah diterima bekerja tapi belum mulai, atau bahkan menyerah karena merasa tak akan mendapat pekerjaan. Mereka tak masuk hitungan pekerja, walaupun sebagian punya niat dan usaha.

Per Agustus 2024, dari total 215,37 juta penduduk usia kerja di Indonesia, hanya 152,11 juta yang tergolong angkatan kerja, dan sisanya (63,26 juta) adalah bukan angkatan kerja. Dari jumlah angkatan kerja tersebut, 144,64 juta sudah bekerja dan 7,47 juta tergolong penganggur. Ini berarti Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia mencapai 4,91%, sedikit menurun dari 5,32% pada tahun sebelumnya.

Namun angka ini menyimpan cerita yang lebih dalam.

Pengangguran Bukan Cuma Soal Jumlah

Sebanyak 17,32% pemuda usia 15-24 tahun di Indonesia menganggur. Ini adalah kelompok usia produktif, masa emas meniti karier, tapi justru paling banyak terjebak dalam ketidakpastian. Di sisi lain, lulusan SMK memiliki tingkat pengangguran tertinggi menurut jenjang pendidikan, yakni 9,01%, lebih tinggi dari lulusan SMA (7,05%) dan sarjana (5,25%).

Tingginya pengangguran di kalangan terdidik mencerminkan adanya mismatch antara sistem pendidikan dan kebutuhan industri. Banyak lulusan yang "kaya teori, miskin praktik". Mereka menunggu pekerjaan ideal, tapi dunia kerja menawarkan realitas yang lain. Inilah yang oleh para ekonom disebut sebagai aspirational mismatch.

Masalah makin kompleks jika kita menambahkan kategori pekerja tidak penuh,: ada 11,56 juta setengah penganggur (bekerja 34,63 juta pekerja paruh waktu. Artinya, hampir 1 dari 3 orang bekerja di Indonesia belum memiliki pekerjaan yang penuh atau stabil.

Ketimpangan Regional dan Gender

Masalah pengangguran juga punya wajah geografis. TPT di perkotaan mencapai 5,79%, jauh lebih tinggi dibandingkan desa yang hanya 3,67%. Ini menggambarkan bahwa tekanan di kota lebih tinggi, terutama karena ekspektasi hidup dan biaya tinggal yang lebih mahal.

Dari sisi gender, menariknya, meski partisipasi perempuan dalam angkatan kerja naik menjadi 56,42%, TPT perempuan (4,92%) sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki (4,90%). Ini menunjukkan bahwa akses kerja yang inklusif bagi perempuan masih perlu didorong, apalagi jika dikaitkan dengan pekerjaan formal.

Di Mana Mereka Bekerja?

Mayoritas penduduk bekerja masih terkonsentrasi di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,18%), diikuti sektor perdagangan (18,89%) dan industri pengolahan (13,83%). Di sisi lain, sektor-sektor berupah tinggi seperti keuangan dan pertambangan hanya menyerap sebagian kecil tenaga kerja. Di sinilah tampak jurang antara banyaknya tenaga kerja dan kualitas pekerjaan yang tersedia.

Upah pun menunjukkan ketimpangan. Rata-rata upah buruh Indonesia pada Agustus 2024 adalah Rp3,27 juta. Namun lulusan SD ke bawah hanya menerima Rp2,08 juta, sedangkan lulusan S1 bisa memperoleh rata-rata Rp4,96 juta. Sayangnya, kelompok dengan pendidikan tinggi ini belum terserap secara optimal.

Meski TPT menurun, pekerjaan layak belum tersedia merata. Kita butuh transformasi sistemik, pendidikan yang sinkron dengan dunia usaha, insentif bagi penciptaan kerja formal di daerah, dan perlindungan lebih bagi pekerja informal. Data sudah bicara. Kini, tinggal kemauan untuk bertindak.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |