Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie Othniel Frederic Palit mempertanyakan efektivitas kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah yang dilakukan Bank Indonesia (BI), karena menganggap kurs rupiah saat ini tidak hanya tertekan terhadap dolar Amerika Serikat, bahkan sampai melawan ringgit Malaysia.
Dolfie mengatakan, selama dua dekade terakhir, pergerakan kurs rupiah terus tertekan terhadap mata uang lainnya, khususnya dolar. Bahkan, pada tahun ini sempat tembus level Rp 17.000/US$ jauh di atas asumsi rata-rata kurs dalam Anggaran Tahunan Bank Indonesia (BI) 2025 Rp 15.285/US$.
"Jadi stabil melemah ini arahnya, sementara indikator yang bapak gunakan dalam hal nilai tukar rupiah selalu menggunakan volatilitas, gejolak rupiah pada angka tertentu, gejolak terus, tapi gejolaknya makin lama makin melemah," ucap Dolfie saat rapat kerja dengan dewan gubernur BI, sebagaimana kembali dikutip pada Jumat (14/11/2025).
Ia pun menekankan, terhadap mata uang negara tetangga, seperti ringgit Malaysia, kurs rupiah juga terpantau kalah. Melansir data Refinitiv, pada perdagangan Selasa (11/11/2025) per pukul 09.40 WIB, rupiah terpantau mengalami pelemahan sebesar 0,37% ke level Rp 4.011/MYR. Level ini sekaligus mencatatkan titik terendah rupiah, setidaknya sejak 2007.
Tak cuma terhadap ringgit, nilai tukar mata uang Garuda juga tercatat tertekan terhadap mata uang negara tetangga lainnya, yakni baht Thailand. Pada Rabu (12/11/2025) pukul 09.55 WIB, rupiah terpantau telah melemah 10,16% terhadap baht secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) dari Rp 466/THB menjadi Rp 523,57/THB.
"Kita bandingkan nilai tukar kita dengan misalnya dengan ringgit, mata uang Thailand, atau apa di antara negara-negara G20 seperti ini juga gak (melemah)? Kalau terhadap mata uang nilai rupiah kita seperti ini berarti ada sesuatu pak," kata Dolfie kepada Gubernur BI Perry Warjiyo.
Gubernur BI Perry Warjiyo pun menjawab pertanyaan itu dengan mengungkapkan makin tingginya ketidakpastian ekonomi di dunia saat ini. Tingginya ketidakpastian ekonomi pada tahun ini membuat proyeksi kurs sepanjang 2025 yang telah digariskan BI melenceng jauh dari kenyataannya.
Sebagaimana diketahui, pada 7 April 2025 kurs rupiah sempat diperdagangkan di level Rp 17.261 dan menjadi posisi terendah. Kondisi itu terjadi di tengah keputusan Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif resiprokal perdagangan yang tinggi kepada mitra dagang utamanya.
"Pada waktu itu kita pandang rerata nilai tukar tahun 2025 itu cukup realistis pada reratanya Rp15.285," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (12/11/2025).
"Pada waktu itu tapi kita juga tidak tahu 2 April ada kebijakan tarif yang sangat tinggi. Sehingga kemudian rupiah bahkan di offshore sudah Rp 17.000. Sehingga kami harus melakukan intervensi yang dalam jumlah yang besar," tegasnya.
Tertekannya kurs rupiah pada 2025 ini kata Perry membuat Bank Indonesia harus menguras cadangan devisa untuk menjalankan kebijakan intervensi stabilisasi rupiah.
Cadangan devisa Indonesia dari yang posisi per Maret 2025 senilai US$ 157 miliar merosot hingga ke level US$ 149 miliar per akhir September 2025, meskipun pada Oktober 2025 kembali naik menjadi US$ 149,9 miliar.
"Sehingga kami harus melakukan intervensi dalam jumlah yang besar. Terutama di offshore non-delivery forward maupun domestic," papar Perry.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Rupiah Dibuka Turun, Dolar AS ke Rp16.360

3 hours ago
2

















































