Bencana Sumatera: Kemanusiaan Di Atas Segala-galanya

3 hours ago 1

Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Bidang Komunikasi dan Media, Abdullah Rasyid. Waspada.id /Ist

JAKARTA (Waspada.id) : Di penghujung tahun 2025, Pulau Sumatera kembali menjadi saksi atas satu tragedi alam terparah di dalam sejarah modern Indonesia. Kehancuran masif akibat Banjir bandang dan longsor yang terjadi di wilayah Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat telah meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi jutaan penduduk terdampak sejak akhir November lalu.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 10 Desember 2025 mencatat; 969 korban dinyatakan meninggal dunia, sementara 252 orang masih hilang dan lebih dari 894.501 warga mengungsi di tenda-tenda darurat serta posko sementara. Total penduduk yang terdampak dari bencana ini mencapai 3,3 juta jiwa. Infrastruktur rusak parah: ratusan jembatan putus, ribuan rumah hanyut dan akses jalan masih terisolir di wilayah pegunungan.

Bencana ini bukan hanya sekadar fenomena alam, namun ia adalah akibat kumulatif dari proses deforestasi dan pengelolaan tata ruang yang tidak maksimal.

Di tengah puing-puing dan air bah itu, realita kemanusiaan kemudian muncul sebagai panggilan tertinggi, sebagai jawaban atas kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai empati, solidaritas dan penyelamatan nyawa di atas segala pertimbangan administratif dan birokratis.

Karena “kemanusiaan” bukanlah pilihan, melainkan moral imperatif yang harus ditegakkan untuk mengingatkan generasi kita bahwa di balik angka-angka statistik selalu ada cerita manusia yang bersedih—keluarga yang kehilangan tempat berteduh, anak-anak yang trauma, dan lansia yang rentan.

Pada saat negara sedang menghadapi ujian seperti ini, maka prinsip kemanusiaan kemudian menjadi fondasi utama dalam membangun kembali wilayah yang terdampak untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan tindakan prioritas selalu dapat mengacu pada aspek keselamatan dan martabat kemanusiaan.

Dampak kemanusiaan dari bencana yang begitu mendalam ini telah menyentuh segala lapisan masyarakat hingga “memaksa” diterbitkannya sebuah keputusan ekstrem pada sektor pemasyarakatan.

Di Aceh Tamiang, Lapas Kelas IIB Kuala Simpang yang telah terendam banjir hingga mencapai atap bangunan, meninggalkan tidak ada pilihan “selain” mengeluarkan sekitar 425 warga binaan untuk menyelamatkan nyawa mereka. Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto menyatakan bahwa langkah ini diambil “murni” atas dasar kemanusiaan, karena kondisi lapas yang tidak lagi aman dan ketiadaan penampungan alternatif di tengah kondisi banjir parah.

Hingga kini, keberadaan sebagian besar warga binaan tersebut belum sepenuhnya terpantau akibat situasi darurat yang belum sepenuhnya kondusif, tetapi keputusan ini menekankan bahwa nyawa manusia lebih utama daripada tembok penjara. Ini sejalan dengan pepatah latin “Humanitas super omnia,” yang berarti “Kemanusiaan di atas segala-galanya”—sebuah prinsip filosofis yang mengingatkan kita bahwa nilai kemanusiaan harus menjadi prioritas tertinggi, melampaui hukum, aturan, atau kepentingan institusional. Prinsip ini terwujud secara dramatis dalam kisah nyata seorang hakim dari Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Qisthi Widyastuti (atau dikenal sebagai Kisty Widyastuti), yang terjebak banjir selama enam hari bersama rekan-rekannya.

Dalam kondisi putus asa, dengan air yang telah mencapai dada, ia dan rombongannya diselamatkan oleh empat warga binaan yang pernah divonisnya sendiri. Para warga binaan ini, dengan perahu yang sederhana “berjuang” sekuat tenaga untuk membantu mengevakuasi hakim dan timnya melalui arus deras hingga mencapai posko sementara. Kisah ini bukan hanya tentang penyelamatan fisik, tetapi merupakan simbol rekonsiliasi atas kemanusiaan itu sendiri.

Mantan terpidana yang pernah dihukum justru menjadi pahlawan. Ini membuktikan bahwa di saat krisis, ikatan manusiawi ternyata dapat melampaui vonis pengadilan. Dampak seperti ini memperlihatkan bagaimana bencana memaksa kita merefleksikan ulang nilai-nilai dasar, di mana empati dan saling tolong menjadi penyelamat utama di tengah kehancuran.

Pertanyaan mendasar yang muncul dari tragedi ini adalah apakah kita harus menunggu terjadinya bencana untuk menerima sebuah reintegrasi sosial ?

Tidak. Reintegrasi sosial seharusnya selalu menjadi agenda proaktif, bukan reaktif terhadap krisis. Dalam konteks bencana Sumatera, reintegrasi terlihat jelas pada warga binaan Lapas Kuala Simpang yang dilepaskan, dan berpotensi untuk berkontribusi langsung sebagai relawan kemanusiaan, atau seperti kasus hakim yang diselamatkan, di mana mantan warga binaan membuktikan nilai kemanusiaan mereka berada di luar stigma.

Di Indonesia, di mana overcrowding lapas masih mencapai 150 persen dan reintegrasi sering sekali terabaikan, bencana seperti ini justru menjadi pengingat pahit bahwa tanpa adanya pendekatan yang preventif, kita bisa dengan mudah kehilangan peluang untuk membangun masyarakat yang inklusif.

Bayangkan jika reintegrasi dapat dilakukan secara rutin—melalui kerja sama antara Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan dengan komunitas lokal—maka warga binaan bisa menjadi aset dalam pencegahan bencana, seperti pemantauan lingkungan atau respons darurat. Menunggu bencana berarti mengabaikan potensi manusiawi.

Sebaliknya, reintegrasi proaktif akan memperkuat resiliensi sosial, mengurangi stigma, dan membangun jaring pengaman yang kolektif. Ini bukan hanya soal keadilan, tetapi juga efisiensi agar masyarakat yang inklusif lebih kuat ketika sedang menghadapi ujian alam.

Lembaga pemasyarakatan (Lapas) memiliki peran yang krusial dalam penanggulangan bencana seperti di Sumatera, tidak hanya sebagai “korban” tetapi juga sebagai mitra yang aktif. Di tengah banjir, lapas seperti Kuala Simpang terbukti rentan, tetapi ini bisa diubah menjadi satu kekuatan. Lembaga Pemasyarakatan dapat berperan dengan menyediakan fasilitas sebagai shelter darurat bagi pengungsi, karena struktur bangunannya cukup kokoh dan dilengkapi dengan logistik dasar.

Selain itu, warga binaan yang dilepaskan juga dapat dilibatkan sebagai relawan terlatih—misalnya dalam mendistribusi bantuan, evakuasi, atau rekonstruksi infrastruktur—seperti yang terlihat dalam kisah penyelamatan hakim. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) telah menunjukkan inisiatif dengan membebaskan warga binaan atas dasar kemanusiaan, kebijakan ini harus terus dapat dikembangkan hingga menjadi program yang permanen seperti; melakukan pelatihan respons bencana bagi narapidana, simulasi evakuasi atau keterampilan dalam melakukan pertolongan pertama.

Strategi preventif terbaik untuk kedepannya, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan bisa mengadopsi berbagai pendekatan yang berbasis resiko melalui pembangunan lapas yang tahan terhadap bencana dengan desain drainase yang canggih dan terintegrasi juga dengan teknologi pemantauan cuaca dan early warning system, terutama di wilayah rawan bencana seperti Sumatera.

Mari kita renungkan bersama, bahwa bencana yang baru saja terjadi di Sumatera tidak hanya menjadi ujian kolektif bagi bangsa kita, tetapi juga merupakan peluang untuk memperkuat ikatan kemanusiaan. Kepada Pemerintah Daerah di Sumatera Utara, Aceh dan Sumatera Barat, tetaplah bersabar dalam mengkordinasikan bantuan dan melaksanakan proses rekonstruksi. Kepada masyarakat yang terdampak—para pengungsi, keluarga korban, dan relawan—tetaplah tegar di tengah duka karena gotong royong adalah kekuatan kita, Ingatlah, “Humanitas super omnia” akan membawa kita melewati badai ini.

Oleh: Ir. H. Abdullah Rasyid, ME. (Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Bidang Komunikasi dan Media)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |