Belajar dari China, Penguasa Logam Tanah Jarang Dunia

4 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2016-2019 Arcandra Tahar menilai meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China belakangan ini, salah satunya dipicu oleh kebijakan baru Beijing. Khususnya, yang membatasi ekspor mineral strategis atau critical minerals, termasuk logam tanah jarang (LTJ).

Padahal, mineral-mineral tersebut sangat penting bagi berbagai sektor industri, mulai dari baterai kendaraan listrik, motor listrik, hingga semikonduktor. Lebih jauh lagi, mineral strategis ini juga sangat dibutuhkan oleh industri pertahanan AS.

Dia lantas mengingatkan mineral strategis yang saat ini menjadi rebutan dunia meliputi tembaga, nikel, kobalt, lithium, mangan, grafit, dan logam tanah jarang (rare earth elements). Namun kali ini, ia secara khusus membahas mengenai logam tanah jarang.

Arcandra menilai ketergantungan Amerika Serikat terhadap China dalam pemenuhan kebutuhan logam tanah jarang terjadi lantaran dominasi besar China dalam rantai pasok global komoditas tersebut.

Berdasarkan data tahun lalu, sekitar 68% tambang logam tanah jarang berada di wilayah China, sementara Amerika Serikat hanya memiliki sekitar 11% dan Australia sekitar 9%.

Yang lebih mengejutkan, bukan hanya produksi tambang yang dikuasai China, tetapi juga proses pengolahannya. Sekitar 90% fasilitas pemurnian dan pengolahan logam tanah jarang dunia berlokasi di China, sedangkan Malaysia menempati posisi kedua dengan 9%.

"Kenapa AS sangat bergantung kepada China untuk memenuhi kebutuhan logam tanah jarang mereka? Dari data tahun lalu, tambang logam tanah jarang 68% berada di China dan hanya 11% di Amerika Serikat dan 9% di Australia. Yang mengejutkan, 90% pengolahannya ada di China dan 9% ada di Malaysia," ungkap Arcandra, dikutip dari akun Instagramnya, Jumat (17/10/2025).

"Dapat dibayangkan bagaimana bergantungnya Amerika Serikat dan negara lain terhadap China serta Malaysia akan hasil pengolahan logam tanah jarang ini," ujarnya.

Menurut Arcandra, logam tanah jarang sebenarnya tidak sulit untuk ditemukan. Pasalnya, selain dapat dijumpai sebagai elemen utama di beberapa jenis tambang, logam ini juga bisa diperoleh sebagai elemen ikutan dari hasil tambang lain seperti timah, bauksit, dan bijih besi.

Lantas apa yang menyebabkan China menjadi sangat dominan dalam hal penguasaan logam tanah jarang? Apakah secara kebetulan mereka punya cadangan yang cukup besar?

Arcandra menilai memiliki sumber daya yang melimpah tidak otomatis membuat suatu negara mampu menguasai pasar mineral strategis ini. Ia memandang bahwa dominasi China dalam penguasaan logam tanah jarang tidak lepas dari visi besar yang digagas oleh Deng Xiaoping pada era 1990-an.

Arcandra lantas mengutip pernyataan Deng Xiaoping yang pernah mengatakan bahwa kalau Timur Tengah punya minyak, maka China punya logam tanah jarang.

Adapun, pada tahun 1973, ketika Amerika Serikat mengalami krisis energi, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) diwajibkan memiliki cadangan minyak strategis atau Strategic Petroleum Reserve (SPR) yang mampu menutupi kebutuhan konsumsi selama 90 hari.

"Zaman sekarang China bukan saja berpikir untuk mempunyai cadangan minyak strategis tapi sudah jauh melangkah dengan membuat cadangan mineral strategis (Strategic Critical Mineral)," tulisnya.

Arcandra menilai keberhasilan ini dimulai dari visi besar oleh pemimpin tertinggi yang kemudian diimplementasikan lewat penguasaan teknologi dan sumber daya manusia yang handal. Penguasaan logam tanah jarang oleh China bukanlah program tiba-tiba namun direncanakan dengan matang dan membutuhkan waktu paling tidak sekitar 20 tahunan.

Kemampuan menguasai logam tanah jarang sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh China. Banyak negara lain yang juga memiliki teknologi pengolahan (processing) yang mumpuni. Namun, perbedaan mendasar terletak pada support system yang dimiliki China dan belum dimiliki negara-negara lain.

Apa saja support system tersebut?

Pertama, negara hadir dan mendukung penuh pengembangan teknologi pengolahan logam tanah jarang melalui penyediaan dana yang cukup besar. Menurut dia, apabila pembangunan fasilitas pengolahan logam tanah jarang hanya mengandalkan pendanaan dari sektor swasta, maka risiko kerugian akan sangat besar.

Hal itu disebabkan oleh fluktuasi harga logam tanah jarang yang tinggi di pasar global. Pada saat harga turun, ongkos produksi lebih besar dari revenue yang diperoleh. Dengan kondisi ini, processing plant yang sudah terbangun memilih untuk tidak beroperasi.

"Jadi perlu diingat bahwa tidak selamanya pengelolaan logam tanah jarang bisa menghasilkan keuntungan bagi dunia usaha," tulisnya.

Ia menambahkan faktor kedua yang membuat China mampu maju dalam pengolahan logam tanah jarang adalah dukungan penuh dari negara dalam menjamin ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkelanjutan.

Banyak SDM di negara lain yang beralih profesi karena processing plant-nya bangkrut akibat harga komoditi yang jatuh. Dengan kondisi ini, SDM yang sudah terlatih dan berpengalaman hilang dari ekosistem.

Berikutnya, support system ketiga yang membuat China unggul dalam industri logam tanah jarang adalah kebijakan industrialisasi yang dirancang untuk menyerap hasil produksi dalam negeri.

Adapun, dengan ekosistem yang terbentuk, naik turunnya harga komoditi tidak banyak pengaruhnya terhadap keberlangsungan dari processing plant yang dibangun. Hal ini terbukti dengan masih bertahannya processing plant logam tanah jarang di China sampai hari ini.

Support system keempat adalah aturan mengenai persyaratan lingkungan yang lebih longgar di China dan penolakan dari masyarakat yang sedikit. Di negara maju isu lingkungan dan penolakan dari masyarakat menjadi penghalang dari aktivitas penambangan dan pengolahan. Akibatnya pengolahan logam tanah jarang menjadi kurang menarik.

"Dari empat support system di atas kita jadi paham bagaimana China bisa menjadi penguasa logam tanah jarang di dunia. Mimpi besar pemerintah China sudah menjadi kenyataan," tutup Arcandra.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Trump Incar Harta Karun Langka, Eks PM Malaysia Komentar Begini

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |