Bekasi Dikepung 4 Sungai Penyumbang Banjir, Ini Faktanya

1 week ago 9

Jakarta,CNBC Indonesia- Air tak mengenal batas. Dari Depok ke Bekasi, dari Ciliwung ke Kali Bekasi, hujan deras yang mengguyur sejak dini hari Selasa (4/3/2025) membuat sebagian Jabodetabek nyaris tak berdaya.

Di Depok, air setinggi 1,2 meter merendam Kampung Kapling Pancoran Mas. Di Bekasi, lebih dari 20 titik banjir dengan ketinggian mencapai atap rumah memaksa warga mengungsi. Sementara di Jakarta, luapan Ciliwung, Sunter, hingga Angke membuat sejumlah ruas jalan lumpuh total.

Jika menelusuri penyebabnya, cuaca menjadi tersangka pertama. BMKG sejak awal sudah mewanti-wanti bahwa periode 4-11 Maret 2025 bakal dihiasi hujan deras, didorong oleh gelombang atmosfer Rossby Ekuatorial dan Kelvin yang memperkuat awan hujan di bagian barat Indonesia.

Di atas itu semua, sirkulasi siklonik di Samudra Hindia dan Papua Selatan memperparah kondisi, membuat langit menumpahkan jutaan kubik air dalam waktu singkat.

Infrastruktur yang tak siap menampung derasnya limpahan air adalah akar persoalan. Bekasi, Depok, dan Jakarta berada dalam lanskap DAS (Daerah Aliran Sungai) yang kompleks, dengan sungai-sungai utama seperti Ciliwung, Citarum, Cisadane, dan Pesanggrahan menjadi penentu utama aliran air. Masalahnya? Kapasitas aliran semakin terbatas.

Dengan debit ekstrem yang begitu tinggi, seharusnya sungai-sungai ini bisa menjadi jalur utama pelepasan air hujan. Namun, sedimentasi, penyempitan badan sungai akibat okupasi lahan, dan buruknya tata kelola sungai membuat air lebih memilih jalan lain membanjiri rumah, jalan, dan area pemukiman.

Lalu, bagaimana dengan sistem drainase? Jakarta, Bekasi, dan Depok sama-sama menghadapi masalah klasik, drainase yang tidak mampu mengalirkan air secepat curah hujan yang turun. Banyak saluran yang tersumbat sampah, kapasitas gorong-gorong yang tak sebanding dengan urbanisasi, hingga minimnya daerah resapan air. Ketika hujan turun deras, air mencari jalan termudah dan sering kali itu berarti jalanan utama, bukan saluran pembuangan.

Normalisasi sungai, pembangunan polder, dan peningkatan kapasitas drainase memang terus berjalan, tapi sering kali tidak sebanding dengan laju urbanisasi. Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, alih fungsi lahan yang tak terkendali, dan ketergantungan infrastruktur lama, Jakarta dan kota-kota satelitnya seperti Depok dan Bekasi ibarat rumah tua yang terus-menerus ditimpa hujan tanpa genteng baru.

Hujan deras memang turun tanpa bisa dicegah, tapi dampaknya bisa diminimalisir. Cuaca ekstrem bukan fenomena baru, namun urbanisasi yang tak terkendali, drainase yang tak memadai, serta sungai yang kehilangan kapasitasnya membuat banjir menjadi rutinitas tahunan. Dengan sistem peringatan dini BMKG, upaya mitigasi harusnya lebih sigap.

CNBC Indonesia Research
[email protected]

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |