Anggaran Pendidikan Jumbo Tapi Banyak Siswa RI Gak Bisa Baca

7 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia- Fenomena banyaknya siswa SMP yang belum bisa membaca tidak hanya mengagetkan tetapi juga memprihatinkan. Fenomena ini semakin menegaskan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

Alih-alih tenggelam dalam buku pelajaran, ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali, justru sibuk mengarungi dunia maya. Sebanyak 155 siswa tercatat tidak bisa membaca sama sekali, sementara 208 lainnya tak lancar mengeja kata.

Mereka gagap terhadap teks, tapi gesit memainkan media sosial. Fenomena ini seakan bagai potret buram kualitas pendidikan Indonesia yang makin relevan saat skor PISA 2022 kembali menukik.

Banyaknya siswa SMP yang tidak bisa membaca hanyalah satu dari sedikit kusutnya pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, data dari sejumlah lembaga menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan.

Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) per akhir 2023 menyatakan skor Indonesia untuk membaca hanya 359, terendah sejak Indonesia bergabung di tahun 2000. Penurunan ini bukan hal sepele, menunjukkan krisis literasi struktural yang belum kunjung dibenahi, meski anggaran pendidikan terus menggelembung.

Penilaian OECD melalui PISA didasarkan pada tiga aspek yakni Matematika, Membaca, dan Sains. Sebagai catatan, survei PISA 2022 seharusnya dilaksanakan pada 2021, akan tetapi ditunda karena pandemi Covid-19.

Pada PISA 2022, penilaian difokuskan pada kemahiran siswa dalam matematika dengan penekanan lebih besar diletakkan pada penalaran matematika. Survei PISA 2022 ini disebutkan merupakan studi ekstensif pertama yang berisi data tentang bagaimana pandemi Covid-19 berdampak pada kinerja siswa di seluruh dunia.

Indonesia juga tak lekang dari dampak pandemi Covid-19 yang membuat skor PISA turun tajam. Pandemi memaksa aktivitas belajar mengajar terhambat, sehingga efektivitas pemahaman materi siswa berkurang.


Skor membaca tersebut bukan cuma jauh tertinggal dari Singapura (543), Vietnam (462), dan bahkan Malaysia (388), namun juga membuat Indonesia berada di bawah Filipina (347) dan Thailand (379). Di antara delapan negara ASEAN yang masuk penilaian PISA 2022, Indonesia hanya unggul dari Kamboja.

Sejak 2000, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) secara konsisten mengadakan penilaian kualitas pendidikan suatu negara melalui PISA untuk mengevaluasi prestasi siswa yang berusia 15 tahun dalam tiga tahun sekali.Data 2022 dikeluarkan pada Desember 2023.

Rendahnya tingkat literasi siswa Indonesia tercermin dari data lainnya. Menurut data UNESCO, minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Itu berarti, dari 1.000 orang Indonesia, hanya ada 1 yang minat membaca.

Mengutip riset berbeda yang berjudul World's Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu dengan hasil Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia hanya unggul atas Botswana.

Melansir dari CNN Indonesia, menurut Plt Kepala Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi, penyebab utama rendahnya literasi bukan hanya kurikulum atau guru, tetapi juga trauma anak, kurangnya dukungan keluarga, serta efek jangka panjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi.

"Misalnya siswa memiliki trauma akibat kekerasan rumah tangga, perceraian, atau kehilangan anggota keluarga. Atau korban perundungan," ujarnya.

Ketua Dewan Pendidikan Buleleng, I Made Sedana, juga menyoroti sistem pengajaran yang terlalu administratif, membuat guru kehilangan waktu untuk mengajar esensial, membaca dan menulis.

Tak cukup hanya membatasi penggunaan ponsel di sekolah. Yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh dalam sistem pengajaran, pemetaan kemampuan individu siswa, serta pelibatan serius orang tua dalam proses belajar anak.

Keterlibatan orang tua dalam meningkatkan minat baca juga rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peran orangtua masih kurang dalam meningkatkan literasi anak dari usia dini, tercermin dari aktivitas anak bersama orang tua dalam hal membaca sangat minim.

Data BPS menunjukkan persentase anak yang dibacakan buku cerita/dongeng dan belajar/membaca buku anak usia dini yang dilakukan bersama orang tua/wali masih sangat kecil, yaitu berturut-turut hanya sekitar 17,21% dan 11,12%. Padahal, kedua aktivitas ini sangat bagus untuk menambah literasi anak usia dini.

Survei Sosial Ekonomi NasionalFoto: BPS
Survei Sosial Ekonomi Nasional

Anggaran Pendidikan Terus Membengkak
Masih rendahnya kualitas pendidikan Indonesia berbanding terbalik dengan semakin besarnya anggaran pendidikan. Pada 2025, anggaran pendidikan ditetapkan Rp 724,3 triliun. Angka tersebut melonjak 85% dalam 10 tahun terakhir.

Sesuai amanat UUD 1945 dan Undang-undang nomor20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari total APBN. Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009.

Sejak tahun tersebut, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Anggaran pendidikan pun bengkak 206,8% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 665 triliun pada 2024.

Skor PISA dan banyaknya anak SMP yang tidak bisa membaca adalah cermin mutu pendidikan kita. Dan ketika cermin itu menunjukkan wajah buram, maka bangsa ini perlu lebih dari sekadar program kita butuh revolusi dalam cara mendidik.

Karena generasi masa depan Indonesia tak akan dibentuk oleh seberapa cepat mereka mengetik di medsos, tapi seberapa dalam mereka bisa memahami dunia lewat membaca.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |