Petaka Tarif Trump, Ribuan Pabrik Baju China Terancam Bangkrut

2 days ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia - Ecommerce China yang menjajakan barang super murah seperti Temu dan Shein dalam waktu cepat mendulang popularitas di ranah global. Kendati demikian, perang tarif Trump dan penghapusan kebijakan 'de minimis' menjadi tamparan keras bagi kedua perusahaan.

Temu mengumumkan penutupan iklan Google Shopping di AS pada 9 April lalu. Peringkatnya di toko aplikasi aplikasi langsung merosot tajam dari urutan ke-3 atau ke-4 menjadi ke-58.

Di saat bersamaan, Shein juga menunjukkan tanda-tanda keterpurukan. Sebagai informasi, Temu dan Shein menggunakan skema penjualan barang langsung dari produsen ke konsumen akhir tanpa perantara, sehingga bisa menjual barang super murah.

Popularitas Shein telah mendatangkan berkah bagi penduduk di wilayah selatan Guangzhou, China. Bahkan, area itu dijuluki 'Desa Shein'. Pasalnya, ratusan pabrik memproduksi baju-baju murah untuk dijual dengan harga murah di area tersebut, yakni Distrik Panyu.

Setiap tahunnya, Shein mampu menjual baju dan item fesyen lainnya senilai US$30 miliar. Selama ini, Shein diuntungkan kebijakan de minimis AS yang membebaskan pajak bagi barang-barang impor di bawah US$800. Namun, kebijakan tersebut dihapus dan berdampak besar bagi mata pencarian warga Desa Shein.

Dalam kunjungan Reuters baru-baru ini ke Desa Shein, dilaporkan suasananya gelap gulita alias kelam.


Tiga bos pabrik dan 4 penyuplai hilir lokal mengatakan pemesanan Shein anjlok, dipicu penghapusan kebijakan de minimis dan kekhawatiran tarif Trump.

Mereka mempertimbangkan untuk mulai memindahkan fasilitas produksi ke Vietnam agar tak terdampak konflik geopolitik China-AS.

Tarif 145% yang ditetapkan Trump dan kebijakan de minimis yang dihapus untuk barang-barang impor China memunculkan pertanyaan besar terkait masa depan pabrik-pabrik di Guanzhou dan Shein secara umum.

Salah satu pemilik pabrik bernama Mr Li mengatakan sudah berbisnis sejak 2006. Ia memproduksi pakaian untuk pasar domestik dan internasional. Pabriknya sudah bermitra dengan Shein selama 5 tahun.

Menurut penuturannya, pemesanan dari Shein pada tahun ini sudah menurun 50%. Pasalnya, pemesanan lebih banyak berpindah ke Vietnam.

"Dampaknya sangat jelas. Tarif bukan sesuatu yang kami rasa akan berakhir dalam waktu dekat. Kami tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," kata dia, dikutip dari Reuters, Rabu (16/4/2025).

Di Desa Shein, ribuan manufaktur kontrak berskala kecil memproduksi barang-barang dalam jumlah relatif kecil, mulai dari crop top hingga rok mini. Harganya hanya beberapa yuan per item dan dengan cepat dikapalkan ke konsumen di seluruh dunia dengan harga beberapa dolar per item.

"Sejujurnya, e-commerce cross-border berkembang sangat pesat dalam 2 tahun terakhir. Sebelumnya tak ada bisnis serupa di China," kata pemilik pabrik lain, Mr Hu.

"Ini semua berkat Xu Yuangtian dari Shein," kata dia, merujuk pada pengusahan China-Singapura yang mendirikan Shein.

Baru-baru ini, Shein telah mendapat persetujuan untuk IPO di Londong, tetapi masih menunggu persetujuan regulator China. Shein juga menggelontorkan investasi senilai 10 miliar yuan untuk proyek industri di China Selatan, termasuk US$500 juta untuk hub rantai pasokan di Distrik Zengcheng, Guangzhou.

Mr Li dan Mr Hu mengonfirmasi laporan media sebelumnya yang menyebut Shein mulai melakukan diversifikasi penyuplai barang dan menggandeng manufaktur-manufaktur di Vietnam.

"Sejak Imlek, ketika Trump dilantik sebagai Presiden AS, Shein telah menanyakan banyak pabrik besar untuk mencari cara membuka pabrik di Vietnam," kata Mr Hu.

Menurut Mr Hu, pabriknya terhitung kecil untuk menjadi kandidat yang bisa diberikan insentif oleh Shein untuk membuka pabrik di Vietnam. Pabriknya hanya memperkerjakan 100 orang dan memproduksi 200.000-300.000 item per bulan.

Dalam pernyataannya ke Reuters, Shein membantah peralihan rantai pasokan ke luar China. Perusahaan mengatakan akan memprioritaskan penyuplai di China, bahkan ingin menambah 7.000 di tahun ini dari 5.800 penyulai pada tahun lalu.

Shein tak menjawab pertanyaan soal isu insentif yang diberikan ke pabrik-pabrik besar untuk membuka fasilitas manufaktur di Vietnam.

Tantangan Pindah ke Vietnam

Pabrik garmen untuk Shein di Guangzhou, provinsi Guangdong, China. (REUTERS/Casey Hall)Foto: Pabrik garmen untuk Shein di Guangzhou, provinsi Guangdong, China. (REUTERS/Casey Hall)
Pabrik garmen untuk Shein di Guangzhou, provinsi Guangdong, China. (REUTERS/Casey Hall)

Langkah untuk beralih ke Vietnam dapat membantu Shein melanjutkan pengiriman barang ke AS tanpa membayar pajak sama sekali untuk paket-paket di bawah de minimis. Namun, tak ada kepastian hal ini akan selalu berlaku untuk Vietnam.

Di sisi lain, perpindahan fasilitas ke Vietnam akan menciptakan kondisi yang disebut 'Catch-22'. Maksudnya, akan ada potensi biaya yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama untuk produksi. Padahal, selama ini Shein mengutamakan bujet murah dan waktu cepat.

"Diversifikasi basis manufaktur akan membawa perubahan besar bagi model bisnis Shein," kata Sheng Lu, profesor studi fesyen di University of Delaware.

Secara singkat, tanpa mengubah model bisnis untuk menggelontorkan ribuan gaya baru dengan pengiriman cepat ke konsumen akhir, Shein tak bisa melakukan diversifikasi fasilitas manufaktur.

Sementara itu, tanpa diversifikasi pemasok dari China Selatan, Shein juga tak bisa mengirim produk-produk murah langsung ke konsumen AS karena ada tantangan tarif.

"Model bisnis Shein sangat jenius. Namun, memindahkan model bisnis serupa ke tempat lain akan memicu masalah dalam hal waktu dan biaya," kata Alison Layfield, direktur pengembangan produk di ePost Global yang membantu bisnis pengiriman cross-border dan persoalan bea cukai.

"Tentu mereka akan membebankan biaya ke konsumen. Namun, konsumen tak akan lagi melakukan pemesanan dalam kuantitas sama dan harga yang dijual tak akan sama sepertu dulu," ia menambahkan.

Menurut Mr Li, pemindahan investasi ke Vietnam bukan pilihan menarik. Sebab, tenaga kerja di sana tidak bisa produktif seperti di China.

"Di sini, kami bisa menyelesaikan 1.000 baju per hari. Di sana, bisa makan waktu sebulan," kata dia.

Mr Li berencana untuk mengubah fokus pabriknya dalam melayani pasar domestik. Untuk sesama pengusaha manufaktur, ia mengatakan opsinya memang tak enak dan menimbulkan dilema.


"Hanya ada 2 pilihan. Pertama, bangkrut. Kedua, pindah ke Vietnam," kata dia.


(fab/fab)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Viral Trade War Tiktok, China Bikin Barang Mewah AS Jadi Murah!

Next Article Teror Trump Menggila, Satu Dunia Jadi Korban

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |