Akar Persoalan Bencana Di Sumut Dibiarkan, ARS: Ini Tidak Adil Bagi Rakyat

4 hours ago 3
Medan

25 Desember 202525 Desember 2025

 Ini Tidak Adil Bagi Rakyat Anggota Komisi D DPRD Sumut Abdul Rahim Siregar, ST, MT. Waspada.id/ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada.id): Banjir dan longsor kembali datang, dan seperti biasa, air surut lebih cepat daripada perubahan kebijakan. Di tengah bencana yang terus berulang di Sumatera Utara, Anggota Komisi D DPRD Sumut Abdul Rahim Siregar, ST, MT melontarkan kritik keras namun konstruktif: negara dinilai masih sibuk mengobati luka, tetapi abai menghentikan sumber penyakitnya.

“Ini tidak adil bagi rakyat, penanganan bencana selama ini terlalu terfokus pada bantuan kemanusiaan pascakejadian, sementara akar persoalan ekologis—kerusakan hutan dan pembiaran izin bermasalah—dibiarkan terus menganga,” kata Abdul Rahim Siregar yang akrab disapa ARS ini, dalam keterangan tertulisnya kepada Waspada.id, Kamis (25/12).

Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pihaknya patut mengapresiasi kerja kemanusiaan pemerintah, relawan, ormas, NGO, hingga masyarakat.

“Tapi kalau hulunya tidak disentuh, kita hanya sedang menunda bencana yang lebih besar. Ini jelas tidak adil bagi rakyat,” tegtas ARS.

Sekretaris Fraksi PKS DPRD Sumut menilai, mayoritas bencana banjir dan longsor saat ini bukan lagi sekadar takdir alam. Kerusakan kawasan hutan, lemahnya pengawasan, serta aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali telah menjadi faktor dominan yang memperparah risiko bencana.

Karena itu, Abdul Rahim mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk keluar dari zona nyaman. Ia meminta adanya keberanian politik untuk menertibkan seluruh izin kehutanan dan memberlakukan moratorium atau penghentian sementara aktivitas di kawasan hutan, terutama di wilayah Sumatera yang dikenal sangat rentan bencana.

“Jangan hanya kuat di pidato, tapi lemah di tindakan. Ketegasan hari ini adalah kunci keselamatan rakyat di masa depan,” ujarnya.

Sebagai Anggota Badan Anggaran DPRD Sumut, Abdul Rahim juga menyoroti dampak serius pembiaran tersebut terhadap keuangan negara. Setiap bencana selalu berujung pada lonjakan belanja APBN dan APBD—dari penanganan darurat hingga rekonstruksi infrastruktur.

“Negara terus menguras uang rakyat untuk memperbaiki kerusakan yang sebenarnya bisa dicegah. Tanpa pencegahan serius, kita akan terjebak dalam siklus bencana dan pemborosan anggaran,” katanya.

Ia menegaskan bahwa tuntutan ketegasan ini bukan tanpa dasar. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Ini bukan soal opini politik, tapi amanat konstitusi. Jika negara membiarkan hutan rusak dan bencana berulang, berarti negara sedang lalai memenuhi hak dasar rakyat,” ujar Abdul Rahim, yang juga Kandidat Doktor Manajemen Sustainability di UMSU.

Tak hanya di tingkat nasional, Indonesia juga terikat pada berbagai komitmen global seperti Paris Agreement, Convention on Biological Diversity (CBD), dan Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruhnya menuntut perlindungan ekosistem dan pengendalian risiko bencana berbasis iklim.

Ketua Umum Forum Masyarakat Dalihan Natolu (FORMADANA) dan Ketua Umum Terpilih KAKAMMI Sumut itu mengingatkan, jika pemerintah pusat dan daerah terus ragu dan setengah hati, bencana yang lebih besar tinggal menunggu waktu.

“Empati pascabencana itu penting, tapi tidak cukup. Rakyat membutuhkan kepemimpinan yang berani dan tegas. Ketegasan hari ini adalah penyelamatan masa depan,” pungkasnya. (id06)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |