Adu Kuat Manufaktur ASEAN: RI Melesat Tajam, Salip Malaysia

1 hour ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas manufaktur di mayoritas negara-negara ASEAN kembali menunjukkan penguatan di level ekspansi pada November 2025.

Menurut laporan terbaru tentang Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang diterbitkan oleh S&P Global pada Senin (1/12/2025) untuk periode November 2025, hasilnya menunjukkan PMI Manufaktur ASEAN berada di zona ekspansi dengan peningkatan ke 53 dari 52,7 di bulan sebelumnya pada Agustus 2025.

Menurut laporan terbaru Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global pada Senin (1/12/2025), PMI Manufaktur ASEAN tercatat meningkat ke level 53 pada periode November, naik dari 52,7 pada bulan sebelumnya.

Sebagai Catatan, PMI menggunakan angka 50 sebagai batas ekspansi. Di atas 50 menandakan aktivitas usaha menguat, sementara di bawah itu artinya industri sedang mengalami perlambatan atau kontraksi.

Menurut S&P Global, ekspansi manufaktur ASEAN pada November menegaskan momentum pemulihan yang terus menguat di kawasan yang didorong oleh peningkatan output, pesanan baru, dan solidnya aktivitas pembelian di berbagai negara.

Perusahaan manufaktur juga mencatat peningkatan kebutuhan input dan kenaikan backlog pekerjaan, yang menjadi sinyal positif bagi pertumbuhan produksi dalam beberapa bulan mendatang.

"Industri manufaktur ASEAN menunjukkan kinerja yang kuat menjelang akhir tahun, dengan peningkatan jelas pada output dan pesanan baru," ujar Maryam Baluch, Ekonom S&P Global Market Intelligence.

Maryam juga menambahakan bahwa aktivitas pembelian juga naik, namun kepercayaan bisnis masih berada di bawah rata-rata historis dan tekanan harga yang meningkat di November berpotensi menjadi tantangan bagi pertumbuhan ke depan.

Adu Kuat Manufaktur ASEAN

Thailand kembali menjadi negara dengan kinerja manufaktur terbaik di diantara negara-negara ASEAN, dengan PMI naik dari 56,6 menjadi 56,8 pada November 2025. Meski hanya meningkat tipis, Thailand tetap mempertahankan ekspansi paling kuat di kawasan.

Vietnam menyusul di posisi berikutnya meski mengalami perlambatan, dengan PMI turun dari 54,5 menjadi 53,8. Sementara Myanmar relatif stabil di level 51,4, sedikit turun dari 51,5 pada bulan sebelumnya.

Sementara itu, Malaysia berhasil keluar dari zona kontraksi dengan PMI naik dari 49,5 menjadi 50,1, sedangkan Filipina justru sebaliknya. PMI Filipina berbalik ke zona kontraksi jadi 47,4 dari 50,1 di bulan sebelumnya. Hal ini sekaligus mencatatkan manufaktur Filipina jadi yang terlemah diantara negara-negara ASEAN.

Di sisi lain, Indonesia menjadi salah satu negara dengan lonjakan aktivitas manufaktur paling kuat di ASEAN.

Lonjakan Aktivitas Manufaktur RI

PMI Indonesia tercatat di level 53,3 pada November, naik signifikan dari 51,2 pada Oktober. Angka ini merupakan level tertinggi sejak Februari 2025 dan menandai empat bulan berturut-turut terjadinya ekspansi aktivitas manufaktur.

Akselerasi aktivitas manufaktur Indonesia di November ditopang oleh lonjakan pesanan baru yang meningkat dengan laju tercepat dalam 27 bulan terakhir. 

Peningkatan permintaan ini sebagian besar berasal dari pasar domestik, di mana jumlah pelanggan dan aktivitas pemesanan terus meningkat. Sebaliknya, permintaan luar negeri masih mengalami tekanan, dengan pesanan ekspor mencatatkan penurunan terdalam dalam 14 bulan terakhir.

Renewed expansion juga terjadi pada sisi produksi. Output manufaktur Indonesia kembali berekspansi setelah melemah selama tiga bulan sebelumnya.

Dalam laporan resmi, ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menilai bahwa November menjadi bulan yang sangat positif bagi sektor manufaktur Indonesia. Ia menjelaskan bahwa percepatan pesanan baru yang merupakan yang tercepat sejak Agustus 2023 telah menjadi katalis utama pemulihan aktivitas industri di berbagai lini.

Menurut Usamah, lonjakan pesanan baru ini memperlihatkan bagaimana permintaan domestik kembali menjadi motor industri menjelang akhir tahun.

"Momentum tersebut mendorong perusahaan meningkatkan produksi, memperbesar pembelian bahan baku, serta menambah tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan permintaan," ujarnya.

Usamah juga menyoroti bahwa tekanan kapasitas terlihat semakin jelas yang tercermin dari kenaikan backlog yang menjadi yang paling signifikan sejak 2021.

Sementara itu, dari sisi biaya, Usamah menambahkan bahwa pelaku industri menghadapi kenaikan biaya produksi yang cukup tajam akibat meningkatnya harga bahan baku dan dampak pelemahan nilai tukar terhadap barang impor. "Kondisi ini membuat perusahaan perlu menyesuaikan harga jual, yang kini meningkat pada laju tertinggi dalam 19 bulan," jelasnya.

Ke depan, pelaku industri masih menyimpan optimisme terhadap prospek 12 bulan mendatang. Namun, tingkat kepercayaan sedikit melemah dari Oktober dan berada pada posisi terendah dalam empat bulan terakhir.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |