Urgensi DME Sebagai Jurus Strategis Mengatasi Ketergantungan Impor LPG

2 days ago 9

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Seiring dinamika global yang diwarnai ketidakpastian geopolitik dan fluktuasi harga energi, ketahanan energi menjadi isu strategis bagi setiap negara. Indonesia, sebagai negara dengan sekitar 284 juta penduduk dengan kebutuhan energi yang terus meningkat, masih menghadapi tantangan ketergantungan impor untuk beberapa komoditas energi, salah satunya Liquified Petroleum Gas (LPG).

Sebagai upaya mewujudkan target swasembada energi yang komitmennya tertuang dalam Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) hadir sebagai solusi strategis untuk mengatasi ketergantungan impor LPG yang selama ini membebani neraca perdagangan Indonesia.

Urgensi Pengembangan DME di Indonesia
Indonesia memiliki cadangan batu bara yang melimpah. Menurut data Kementerian ESDM 2023, Indonesia merupakan negara dengan cadangan batu bara terbesar ketujuh di dunia dengan total 38 miliar ton.

Sekaligus, Indonesia juga tercatat sebagai eksportir batu bara terbesar kedua di dunia dengan volume ekspor mencapai 345.453 KTon senilai US$ 26,5 miliar
atau setara dengan 21,5% dari total ekspor batu bara global pada 2021. Ironisnya, meskipun kaya akan batu bara, Indonesia tidak masuk dalam lima besar eksportir produk turunan batu bara seperti metanol, DME, coke, dan semi-coke.

LPG, yang saat ini masih menjadi bahan bakar utama untuk mengisi kebutuhan primer rumah tangga sebagian besar merupakan produk impor. Ketergantungan terhadap impor LPG ini tidak hanya membebani neraca perdagangan tetapi juga membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan gangguan rantai pasokan global.

Oleh karena itu, pengembangan DME sebagai substitusi LPG menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat ketahanan energi nasional.

Karakteristik dan Keunggulan DME
DME merupakan senyawa eter paling sederhana yang mengandung oksigen dengan rumus kimia CH3OCH3. Berbentuk gas pada suhu dan tekanan normal, DME memiliki beberapa keunggulan dibandingkan LPG.

Berdasarkan temuan Kementerian ESDM, DME memiliki karakteristik pembakaran yang lebih baik dengan kualitas nyala api yang lebih biru dan stabil, tidak menghasilkan partikulat matter (pm) dan NOx, serta tidak mengandung sulfur.

Dari segi nilai kalor, DME memiliki kandungan panas (calorific value) sebesar 7.749 Kcal/Kg, sementara LPG memiliki nilai kalor lebih tinggi yakni 12.076 Kcal/Kg. Meskipun demikian, DME memiliki massa jenis yang lebih tinggi sehingga dalam perbandingan kalori antara DME dengan LPG sekitar 1 berbanding 1,6. Artinya, untuk menghasilkan energi yang setara, dibutuhkan volume DME yang lebih besar dibandingkan LPG.

Keunggulan utama dari hilirisasi batu bara menjadi DME ini adalah aspek lingkungan. DME dinilai mudah terurai di udara sehingga tidak merusak lapisan ozon dan dapat meminimalisasi emisi gas rumah kaca hingga 20%.

Kementerian ESDM menemukan bahwa penggunaan LPG per tahun menghasilkan emisi 930 kg CO2, sementara dengan DME, emisi diperkirakan akan berkurang menjadi 745 kg CO2. Penurunan emisi ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Uji Terap Telah Dilakukan
Untuk memastikan kelayakan dan penerimaan DME sebagai pengganti LPG, Kementerian ESDM melalui Balitbang ESDM telah melakukan serangkaian uji terap. Uji terap penggunaan DME 100% telah dilaksanakan di wilayah Kota Palembang dan Muara Enim pada bulan Desember 2019 hingga Januari 2020 yang melibatkan 155 kepala keluarga.

Selain itu, uji terap DME dengan komposisi 20%, 50%, dan 100% juga dilakukan di Jakarta, tepatnya di Kecamatan Marunda, kepada 100 kepala keluarga pada tahun 2017. Hasil uji terap menunjukkan respon positif dari masyarakat.

DME dinilai mudah dalam menyalakan kompor, memiliki stabilitas nyala api yang normal, mudah dalam pengendalian nyala api, dan menghasilkan warna nyala api biru. Meskipun waktu memasak dengan DME lebih lama dibandingkan LPG, secara umum DME dapat diterima oleh masyarakat sebagai alternatif pengganti LPG.

Yang menarik, campuran DME 20% dan LPG 80% dapat digunakan pada kompor gas biasa tanpa modifikasi. Hal ini membuka peluang untuk penerapan transisi bertahap dari LPG ke DME, dimulai dengan blending atau pencampuran dalam proporsi tertentu hingga pada akhirnya dapat tersubtitusi menjadi 100% DME.

Rencana Pengembangan Industri Hilir Batu Bara
Pemerintah Indonesia telah menyiapkan roadmap pengembangan industri hilir batu bara dengan target optimis yaitu substitusi 100% LPG ke DME untuk konsumsi domestik dan 100% penggunaan domestik coke dan semi-coke.

Berdasarkan keterangan yang telah disampaikan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, pemerintah sedang mendorong setidaknya 21 proyek hilirisasi di dalam negeri dengan total investasi mencapai US$ 40 miliar atau sekitar Rp 656 triliun pada tahap pertama. Dari 21 proyek tersebut, terdapat 4 proyek hilirisasi DME dengan nilai investasi diperkirakan mencapai US$ 11 miliar atau sekitar Rp 180,4 triliun.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyatakan bahwa proyek hilirisasi DME akan diprioritaskan untuk digarap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun pemerintah juga mendorong opsi kerja sama antara BUMN dengan badan usaha swasta untuk mempercepat realisasi proyek tersebut.

Proyeksi dampak ekonomi dari industri hilir batu bara hingga 2040 juga menjanjikan. Berdasarkan roadmap hilirisasi yang disusun oleh Kementerian Investasi/BKPM pada 2023, industri hilir batu bara diproyeksikan akan menciptakan nilai investasi sebesar US$ 31,82 miliar untuk periode 2023-2040, menyerap tenaga kerja sebanyak 23.160 orang, menghasilkan cadangan devisa sebesar US$ 11,30 miliar pada 2040, dan berkontribusi terhadap PDB sebesar US$ 2,26 miliar pada 2040.

DME dalam Perspektif Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo menyatakan bahwa sebuah negara seharusnya berspesialisasi pada produksi barang di mana negara tersebut memiliki biaya peluang (opportunity cost) terendah dibandingkan negara lain atau dapat dibilang Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang jelas dalam produksi DME berbasis batu bara.

Dibuktikan melalui cadangan batu bara yang melimpah, khususnya batu bara kalori rendah yang ideal untuk proses gasifikasi menjadi DME. Berdasarkan temuan Kementerian ESDM pada 2023, Indonesia terbukti memiliki cadangan batu bara kalori rendah sebanyak 23,7 miliar ton dan diperkirakan memiliki 11 miliar ton tambahan cadangan yang tersebar di tanah air.

Ketersediaan bahan baku yang melimpah ini tentu memberikan keunggulan biaya produksi yang signifikan. Biaya ekstraksi dan transportasi batu bara di Indonesia juga relatif rendah dibandingkan negara lain.

Sebagai produsen batu bara terbesar kedua di dunia, Indonesia telah memiliki infrastruktur dan ekosistem pendukung industri batu bara yang mapan. Hal ini lebih
lanjut memperkuat posisi keunggulan komparatif Indonesia dalam rantai nilai DME.

Tenaga kerja Indonesia juga relatif kompetitif dari segi biaya, dengan rata-rata upah di sektor pertambangan sebesar Rp 5.228.542 atau sekitar US$ 314 (dengan kurs Rp16.600 per US$) menurut data BPS pada Agustus 2024.

Indonesia sedang mengalami bonus demografi dengan proporsi penduduk usia produktif yang lebih besar dibanding usia non-produktif, sehingga memperkuat keunggulan komparatif dalam industri pertambangan, khususnya industri batu bara.

Selain itu, dengan proyeksi terciptanya 23.160 lapangan kerja dari industri hilir batu bara selama periode 2023-2040, Indonesia dapat memanfaatkan momentum keunggulan komparatif ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan dengan menurunkan tingkat pengangguran.

Melalui pemanfaatan keunggulan komparatif ini, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor LPG dan sekaligus meningkatkan nilai ekspor produk turunan batu bara. Hal ini sejalan dengan prinsip perdagangan internasional Ricardo, di mana spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatif akan menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi semua pihak yang terlibat.

Pengembangan industri DME juga dapat mendorong diversifikasi ekonomi Indonesia dari ketergantungan pada ekspor komoditas hulu menjadi produk bernilai tambah lebih tinggi. Ini tidak hanya meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap volatilitas harga komoditas, tetapi juga menciptakan multiplier effect yang lebih signifikan dalam perekonomian domestik.

Tren Kebijakan Energi dan Dinamika Global Saat Ini
Perkembangan kebijakan energi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika global. Saat ini, dunia tengah berada dalam masa transisi energi menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Namun di sisi lain, kebijakan darurat energi nasional Presiden Trump pada 2025 yang mendorong produksi energi fosil secara massal untuk kepentingan ekonomi,
yang dikenal dengan slogan "Drill, Baby Drill", menunjukkan bahwa ketergantungan global terhadap energi fosil masih cukup tinggi.

Meskipun demikian pemerintah RI tetap berkomitmen penuh terhadap proses transisi energi guna mencapai target Net Zero Emission 2060. Pengembangan DME dapat dinilai sebagai interpretasi nyata atas jembatan transisi menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan.

DME memiliki fleksibilitas bahan baku, sehingga meskipun saat ini diproduksi dari batu bara yang tergolong energi fosil, DME dapat menopang
kebutuhan energi domestik dengan tetap membuka peluang adaptasi di masa depan.

Seiring perkembangan teknologi, produksi hulu DME dapat beralih ke biomassa, limbah, atau Coal Bed Methane (CBM). Oleh karena itu, investasi dalam teknologi DME tidak akan menjadi "stranded asset" ketika dunia semakin beralih ke energi terbarukan yang berkelanjutan.

DME Diangkat dari Kebutuhan Rakyat
DME memiliki karakteristik fisik dan kimia yang mirip dengan LPG, sehingga dengan modifikasi minimal atau bahkan tanpa modifikasi (dalam rasio DME 20% dan LPG 80%), campuran ini dapat menggunakan infrastruktur distribusi dan penyimpanan LPG yang telah ada, sehingga dapat digunakan oleh kompor konvensional yang saat ini masih digunakan oleh masyarakat. Hal ini meminimalkan kebutuhan investasi untuk infrastruktur baru sekaligus tidak membebankan rakyat secara langsung.

Lebih penting lagi, DME dapat menjadi jembatan transisi menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan untuk masa depan anak-cucu kita. Ketersediaan bahan baku, kompatibilitas dengan infrastruktur yang ada, reduksi emisi, menunjang ketahanan dan aksesibilitas energi, serta memberikan nilai tambah ekonomi yang menjadikan pengembangan DME sebagai langkah ideal untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara ekonomi rendah karbon


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |