Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kembali mengalami tekanan selama tiga hari beruntun di tengah permintaan yang melambat dari India selama April-Desember 2024 serta sentimen dari Amerika Serikat (AS) soal perluasan tambang batu bara.
Dilansir dari Refinitiv, harga batu bara pada 13 Maret 2025 tercatat sebesar US$106,75/ton atau turun 0,7% apabila dibandingkan penutupan perdagangan 12 Maret 2025 yang sebesar US$107,5/ton.
Pelemahan harga batu bara ini merupakan yang ketiga kalinya sejak 11 Maret 2025.
Dilansir dari asian-power.com, impor batu bara India dari April hingga Desember 2024 mencapai 183,42 juta ton (MT), turun 8,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menurut Kementerian Batu Bara, impor untuk pencampuran oleh pembangkit listrik tenaga uap turun 29,8%, meskipun pembangkit listrik berbasis batu bara meningkat 3,53%. Hal ini mencerminkan upaya berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara impor dan meningkatkan swasembada dalam produksi batu bara.
Penurunan impor ini menghasilkan penghematan devisa sekitar US$5,43 miliar.
Pemerintah India telah menerapkan berbagai inisiatif, termasuk Penambangan Batu Bara Komersial dan Misi Batu Bara Kokas, untuk meningkatkan produksi batu bara dalam negeri dan mengurangi impor. Upaya ini telah mendorong pertumbuhan produksi batu bara sebesar 6,11% dari April hingga Desember 2024.
Sementara di Amerika Serikat, Departemen Dalam Negeri pada Kamis mengumumkan pemerintahan Presiden Donald Trump menyetujui rencana untuk memperluas tambang batu bara di Montana dan memperpanjang masa operasionalnya selama 16 tahun. Langkah ini sejalan dengan tujuan Presiden Donald Trump untuk meningkatkan produksi bahan bakar fosil di AS.
Perluasan ini akan menambah pasokan di dunia sehingga harga bisa tertekan.
Tambang Spring Creek di Big Horn County dioperasikan oleh Navajo Transitional Energy Company (NTEC).
Ekspansi ini akan memungkinkan penambangan 39,9 juta ton batu bara selama 16 tahun ke depan.
Persetujuan ini merupakan kemenangan bagi Spring Creek Mine, yang telah berupaya meningkatkan produksi selama hampir dua dekade. Rencana ekspansi sebelumnya terhambat oleh perintah pengadilan yang mengharuskan tinjauan lingkungan federal baru.
Analisis tersebut diterbitkan pada Januari, beberapa hari sebelum Trump menjabat.
NTEC, yang sepenuhnya dimiliki oleh Navajo Nation, membeli tambang ini pada tahun 2019 dari perusahaan Cloud Peak Energy yang bangkrut. Pihak NTEC belum memberikan komentar terkait persetujuan ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)