Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan pemerintah yang tengah merevisi peraturan terkait tarif royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara mendapat kritik dari para pengusaha. Sebab, kebijakan ini diyakini hanya akan menambah beban bagi industri pertambangan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membunuh industri pertambangan di dalam negeri dengan adanya kebijakan tersebut.
"Balik lagi ke royalti, yakinlah pemerintah tidak akan membunuh industri pertambangan karena memang diperlukan dan sampai sekarang terkait hilirisasi sangat diperlukan untuk ekonomi RI," kata Tri dalam acara CNBC Indonesia Mining Forum di Jakarta, dikutip Rabu (19/3/2025).
Tri memastikan bahwa sebelum menetapkan kenaikan tarif royalti perusahaan tambang, pihaknya melakukan evaluasi terhadap keuangan perusahaan terlebih dahulu.
"Pemerintah sebelum melakukan kenaikan pasti evaluasi terhadap keuangan perusahaan yang mana bisa optimal keuangan pemerintah dengan perusahaan," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai bahwa kebijakan tersebut menambah tekanan bagi industri pertambangan yang telah menghadapi berbagai tantangan sebelumnya.
"Awal Januari sudah ada isu, cuma mungkin pada saat itu kita dihadapi oleh kalau ibaratnya badai, ini badainya banyak banget ya," kata Hendra dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, Senin (17/3/2025).
Hendra lantas menjelaskan bahwa sejak awal tahun, industri pertambangan sudah dihadapkan pada sejumlah regulasi baru yang memberatkan. Selain wacana kenaikan royalti, terdapat kebijakan lain yang juga berdampak signifikan.
Mulai dari implementasi biodiesel B40, kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE), Peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, Global Minimum Tax dan lain sebagainya.
"Industri batubara juga terbebani dengan royalti tinggi, harga jual domestik batubaranya dari 2018, ini Pak kita dari dulu harganya dipatok, dan banyak isu lagi belum HBA, dan di industri mineral juga HMA, jadi isunya memang bertubi-tubi, kemudian muncul isu royalti yang akan menjadi istilah internal compensation, jadi kayak apa, udah pamungkasnya mungkin ya," kata Hendra.
Sementara itu, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa kebijakan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tarif royalti nikel tertinggi di dunia.
Menurut dia, di negara lain royalti dihitung berdasarkan profit, sementara di Indonesia dihitung dari harga jual. Hal ini dinilai lebih membebani perusahaan.
"Sementara di negara lain, royalti dihitung berdasarkan profit, di Indonesia dihitung dari harga jual, yang tentu lebih membebani perusahaan," ujar Meidy dalam acara yang sama.
Selain kenaikan tarif royalti, para pelaku industri juga dihadapkan pada berbagai kewajiban lain. Kondisi ini lantas semakin menekan keberlanjutan bisnis mereka.
Meidy menyemut, pemerintah berencana menaikkan tarif royalti untuk bijih nikel menjadi 14%-19% dari saat ini 10%.
Berikut tarif royalti nikel yang berlaku saat ini, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM):
Royalti Nikel:
A. Bijih nikel:
- Bijih nikel 10% dari harga per ton
- Bijih nikel kadar nikel
B. Produk pemurnian:
- Nickel Pig Iron (NPI): 5% dari harga per ton
- Nickel Matte/Ferro Nickel (FeNi)/ Nickel Oksida/Nickel Hidroksida/ Nickel MHP/Nickel HNC/Nickel Sulfida/Kobalt Oksida/Kobalt Hidroksida/Kobalt SulfidalKrom Oksida/ Logam Krom/Mangan Oksida/ Magnesium Oksida/ Magnesium Sulfat: 2% dari harga per ton
- Logam nikel: 1,5% dari harga per ton
C. Wind,fall Profit untuk Harga Nickel Matte > US$ 21,000/ton: 1% dari harga per ton.
(wia)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kenaikan Royalti Minerba Bikin Was-Was, Apa Dampaknya?
Next Article Tarif Royalti Batu Bara-Emas Bakal Naik, Ini Alasan Pemerintah