Sinyal Bahaya! Ekonomi RI Diramal Tumbuh di Bawah 5%

5 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Laporan terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia tengah berada di bawah tekanan berat dan pencapaian target pertumbuhan sebesar 5% semakin sulit untuk direalisasikan.

Laporan LPEM UI Indonesia Economic Outlook Q2-2025 "Memasuki Pertumbuhan di Bawah 5%" melaporkan bahwa struktur ekonomi nasional mengalami pelemahan dan tekanan eksternal memperburuk prospek makroekonomi.

Pada 2024, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03%, sedikit turun dari 5,05% di 2023. Meski masih di atas 5%, tren ini menunjukkan makin sulitnya mempertahankan pertumbuhan. Pelemahan daya beli, menyusutnya kelas menengah, dan produktivitas yang stagnan menjadi penyebab utama. Faktor musiman yang sebelumnya mendorong pertumbuhan kini juga kehilangan daya dorong, terlihat dari pola konsumsi masyarakat yang makin hemat saat liburan.

Kondisi ekonomi domestik yang sudah lemah semakin diperburuk oleh tekanan global. Rencana Presiden AS, Donald Trump untuk mengenakan tarif impor ke 90 negara menimbulkan kekhawatiran akan perang dagang besar yang memicu ketidakpastian dan gejolak di pasar global.

Kendati kebijakan tersebut saat ini ditangguhkan, risiko konflik dagang masih tinggi dan dapat berdampak negatif bagi Indonesia, seperti terganggunya aliran investasi, perdagangan, meningkatnya inflasi impor, depresiasi rupiah, tekanan fiskal, dan perlambatan ekonomi.

Melihat situasi ekonomi dalam negeri yang masih lemah dan tekanan global yang meningkat, Indonesia belum berada dalam posisi yang menguntungkan untuk mengambil manfaat dari potensi perang dagang. Selain itu, belum ada tanda pemulihan produktivitas yang berarti.

Maka dari itu, LPEM UI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam rentang 4,9-5,0% di sepanjang tahun ini, menunjukkan tantangan dalam mencapai target 5%.

Pelemahan Daya Beli

Tanda-tanda pelemahan daya beli dapat terlihat dari fenomena aktivitas ekonomi di kuartal IV-2024 yang cenderung menurun yakni sektor transportasi dan pergudangan serta sektor akomodasi dan makanan minuman.

Lebih lanjut, Mandiri Spending Index (MSI) pada periode yang sama juga menunjukkan bahwa masyarakat cenderung berlibur ke destinasi yang lebih dekat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Dengan kata lain, masyarakat cenderung membelanjakan uangnya lebih sedikit dan memilih untuk bepergian ke destinasi wisata yang secara jarak lebih dekat untuk kegiatan liburan akhir tahun.

Bukti lainnya juga dapat terlihat dari penurunan kredit konsumsi menjadi 10,85% (y.o.y) pada kuartal-IV 2024 dari 10,89% (y.o.y) pada Triwulan-III 2024.

Perlambatan kredit konsumsi juga tercermin dari penurunan kredit untuk pembelian rumah (KPR) menjadi 9,97% (y.o.y) pada kuartal-IV 2024 dari 11,73% (y.o.y) pada kuartal-III 2024.

Lebih lanjut, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di bank umum dan BPR juga melambat menjadi 5,27% (y.o.y) pada kuartal IV-2024, turun dari 7,04% pada triwulan sebelumnya. Perlambatan ini terjadi di seluruh jenis simpanan: giro tumbuh 5,30%, deposito 3,96%, dan tabungan 6,75%, semuanya lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.

Khusus simpanan perorangan, bahkan mengalami kontraksi 1,17%, mengindikasikan bahwa banyak individu menarik simpanan mereka untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, listrik, dan transportasi. Kondisi ini mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat.

Menyusutnya Kelas Menengah

Kelas menengah di Indonesia terus mengalami penyusutan akibat tekanan ekonomi yang berkepanjangan, termasuk gelombang PHK dan semakin sulitnya memperoleh pekerjaan dengan upah memadai.

Data BPS mencatat bahwa pada 2019 jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang (21,45% dari populasi), namun menurun menjadi 47,85 juta orang (17,13%) pada 2024.

Ini berarti sekitar 9,48 juta orang mengalami penurunan status ekonomi. Sebaliknya, jumlah kelompok masyarakat yang tergolong kelas menengah rentan justru meningkat dari 128,85 juta (48,20%) pada 2019 menjadi 137,50 juta orang (49,22%) pada 2024.

Produktivitas Stagnan

Realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2025 sebesar 4,87% merupakan ancaman stagnasi ekonomi. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pelemahan ini bukan sekadar akibat global, tetapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural. Ketidakefisienan belanja fiskal, minimnya dorongan produktivitas sektoral, dan stagnansi investasi swasta masih 'wait and see'.

LPEM UI mencatat banyak subsektor manufaktur yang tercatat menahan ekspansif yang berujung pada tertahannya pertumbuhan ekonomi RI ke atas 5%.

Menurut lapangan usahanya, industri pengolahan yang memiliki distribusi paling besar terhadap PDB yakni sejumlah 19,25%, tercatat hanya tumbuh 4,55% yoy, menurun dibandingkan kuartal IV-2024 yang mencatat 4,89%. Namun demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2024 yang sebesar 4,13%. Perlambatan ini terjadi meskipun momentum Ramadan dan Idul Fitri jatuh pada kuartal I-2025.

Berdasarkan pantauan CNBC Indonesia Research dalam rentang kuartal I-2024 hingga kuartal I-2025, beberapa industri padat karya seperti Industri Pengolahan Tembakau; Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya; Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman; dan Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional terpantau terus mengalami perlambatan kuartal demi kuartalnya.

Industri padat karya di Indonesia terus mengalami perlambatan karena berbagai faktor ekonomi dan kebijakan yang memengaruhi daya saing serta keberlanjutan sektor ini. Salah satu penyebab utama adalah melemahnya daya beli masyarakat, yang berdampak pada permintaan produk dari industri padat karya.

Banyak pelaku industri harus menghadapi dilema antara mempertahankan tenaga kerja atau melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah pekerja, yang sering kali berujung pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Meskipun pemerintah telah berupaya mengatasi perlambatan ini melalui berbagai kebijakan, termasuk insentif fiskal dan dorongan investasi, tantangan seperti tarif perdagangan serta kondisi geopolitik global tetap menjadi hambatan bagi pemulihan industri padat karya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |