Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia mendapatkan angin segar setelah adanya potensi pelonggaran likuiditas di tengah panasnya perang tarif Amerika Serikat dan China yang mereda.
Head of Equity Research Mandiri Sekuritas Adrian Joezer mengungkapkan bahwa efek dari ketegangan perang tarif antara AS dan China yang mereda menghapus kekhawatiran investor akan likuiditas yang ketat.
"US-China trade softening dan juga mungkin season-season dividen bisa mulai dilewati kita melihat mungkin potensi untuk likuiditasnya yang menjadi kekhawatiran pasar ya di stock market ya," ucap Adrian.
Selain itu, Adrian juga menjelaskan bahwa ada ruang untuk kebijakan moneter lebih dovish, bahkan berpotensi terjadi pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia.
"Dari sisi monetary policy terjadi mungkin room yang lebih longgar untuk bisa policy ini bisa cenderung lebih dovish ke depannya baik itu rate cut,"ucap Adrian.
Situasi yang positif dari tarif dan potensi kebijakan moneter yang lebih dovish membuat masuknya dana asing ke pasar. Aliran modal asing pun di pasar saham pun mulai terjadi sedikit penguatan.
"Ya dan kita lihat di 1-2 minggu terakhir ini cukup resilient dimana terjadi inflow balik ke pasar saham Indonesia," katanya.
Di tengah kemelut dalam perekonomian global, mulai stabilnya nilai tukar rupiah membuka peluang yang besar bagi BI untuk menurunkan tingkat suku bunganya bulan ini. Hal ini disampaikan oleh Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian.
Dia menilai BI sudah secara eksplisit menyatakan dalam pernyataan bulanannya pada April 2025. Saat itu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan: "Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan BI-Rate lebih lanjut dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar Rupiah, prospek inflasi, dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi".
"Dari statement ini bisa kita lihat bahwa saat ini nilai tukar sudah stabil dan cenderung menguat, seiring meredanya perang dagang. Di sisi lain, urgensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi semakin meningkat di tengah melambatnya prospek dunia, di tengah perang dagang," ujar Fakhrul.
Selain tingkat suku bunga, hal yang perlu dibahas lebih lanjut oleh Bank Indonesia adalah perihal penggunaan SRBI setelah kestabilan rupiah ini tercapai.
"Pasar berharap Kondisi likuiditas di pasar uang bisa membaik, jika tingkat imbal hasil SRBI semakin diturunkan dan Jumlah yang dimenangkan juga disesuaikan," sambung Fakhrul
Terkait intermediasi pasar keuangan, Fakhrul melihat bahwa, pelonggaran Kebijakan makroprudensial masih harus dilanjutkan untuk menunjang ekspektasi kredit ditengah ekonomi yang cenderung melemah. Untuk bursa saham, membaiknya sentimen global seharusnya membuat IHSG masih akan berada dalam trajektori positif pada minggu ini, dengan pemotongan BI rate menjadi katalis utama.
Sektor perbankan biasanya akan menjadi sektor utama penyokong bursa, dibalik semakin tingginya dana asing yang masuk ke Indonesia. IHSG bisa mencapai 7,300, tetapi kita harus berhati-hati dengan profit taking kalau sentimen perang dagang kembali.
Menurutnya, faktor ekonomi selanjutnya yang akan sangat diperhatikan oleh bursa adalah realisasi APBN di bulan April dan Mei, karena ini akan menentukan suplai obgliasi negara yang akan masuk ke pasar. Volatilitas besar jangka pendek sudah selesai.
"Hal yang harus kita perhatikan kedepannya adalah eksekusi belanja pemerintah, karena ini akan menjadi penentu apakah di paruh kedua tahun 2025, kita akan mengalami rebound ekonomi atau malah masih terperosok di zona pertumbuhan yang lebih rendah," ungkapnya.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Menanti "Trump Effect" Pada Suku Bunga
Next Article Bos BI Bocorkan 3 Alasan Suku Bunga BI Dipangkas ke 5,75%