Sedih! Warga RI Pilih Merokok Dibanding Makan Bergizi

2 weeks ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebiasaan merokok tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga memengaruhi pola konsumsi dengan menurunkan asupan kalori dan protein di semua kelas ekonomi. Pengeluaran untuk rokok sering kali mengorbankan anggaran makanan bergizi, terutama di kalangan masyarakat miskin dan rentan.

Merokok menjadi salah satu kebiasaan yang masih banyak dilakukan di berbagai lapisan masyarakat, meskipun dampak negatifnya terhadap kesehatan telah lama diketahui.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 8 juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berkaitan dengan konsumsi tembakau (WHO 2021).

Selain risiko kesehatan langsung, merokok juga ditengarai dapat memengaruhi pola konsumsi makanan, termasuk asupan kalori dan protein harian, sehingga dapat berdampak pada aspek pemenuhan gizi seseorang. Akibatnya, perokok cenderung memiliki pola makan yang kurang seimbang dan berisiko mengalami malnutrisi. Padahal, kecukupan gizi adalah salah satu faktor utama yang memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan seseorang.

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita di Indonesia untuk rokok dan tembakau mencapai Rp94.476 per bulan. Pengeluaran rokok adalah yang terbesar ketiga dalam kelompok bahan makanan setelah makanan jadi dan padi-padian (BPS 2024).

Fenomena ini menunjukkan bahwa rokok sering kali menjadi prioritas pengeluaran yang mengalahkan kebutuhan pangan bergizi dalam rumah tangga. Akibatnya, risiko malnutrisi meningkat karena dana yang seharusnya digunakan untuk membeli makanan sehat teralihkan ke pembelian rokok.

Berdasarkan data BPS, persentase penduduk berumur kurang dari sama dengan 18 tahun yang merokok tembakau selama sebulan terakhir menurut kelompok umur 2024, usia 16-18 tahun menjadi perokok teraktif.

Namun, jika melihat data BPS Susenas per Maret 2024 jumlah masyarakat Indonesia yang tidak merokok masih lebih banyak dibandingkan merokok.

BPSFoto: BPS

Secara umum, terlihat bahwa proporsi individu yang tidak merokok lebih tinggi di kelompok usia muda, terutama pada kelompok umur 10-14 tahun, di mana hampir seluruhnya tidak merokok.

Namun, seiring bertambahnya usia, proporsi individu yang merokok meningkat, terutama mulai dari kelompok umur 15-19 tahun hingga usia pertengahan (30-49 tahun), di mana proporsi antara perokok dan tidak perokok lebih seimbang. Setelah usia 50 tahun, proporsi individu yang merokok mulai menurun secara bertahap, meskipun proporsi yang tidak merokok tetap lebih tinggi. Pola ini menunjukkan adanya tren merokok yang lebih tinggi pada kelompok usia produktif, sementara kelompok usia muda dan lanjut cenderung sedikit perokok.

Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Kelas Ekonomi terhadap Konsumsi Kalori dan Protein

Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi tingkat konsumsi kalori dan protein. Pada gambar di bawah ini, menunjukkan probability plot kebiasaan merokok dan kelas ekonomi terhadap konsumsi kalori dan protein.

BPSFoto: BPS

Gambar di atas menunjukkan bahwa konsumsi kalori berbanding lurus dengan tingkat kelas ekonomi, di mana individu dengan status ekonomi lebih tinggi cenderung memiliki konsumsi kalori yang lebih besar.

Kebiasaan merokok sedikit menurunkan konsumsi kalori di semua kelas ekonomi, meskipun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Pada kelompok kelas atas, terlihat adanya variasi yang lebih besar dalam konsumsi kalori, yang mungkin mencerminkan faktor-faktor tambahan yang memengaruhi pola konsumsi kalori di tingkat ekonomi ini.

BPSFoto: BPS

Sementara itu, pada gambar di atas menggambarkan bahwa tingkat kelas ekonomi berpengaruh besar terhadap tercukupinya konsumsi protein. Kebiasaan merokok menurunkan peluang konsumsi protein di semua kelas ekonomi, meskipun dampaknya lebih terlihat pada kelas ekonomi menengah ke bawah.

Pada kelas ekonomi tertinggi, variasi dalam konsumsi protein lebih besar, meskipun secara umum peluang tetap tinggi. Faktor seperti gaya hidup dan preferensi makanan mungkin menjadi penentu tambahan di tingkat ekonomi ini.

Penurunan konsumsi kalori dan protein yang terlihat terutama pada kelompok miskin dan rentan miskin kemungkinan besar disebabkan oleh adanya alih pengeluaran (switching) dari kebutuhan makanan bergizi ke pengeluaran untuk rokok.

BPSFoto: BPS

Gambar di atas menunjukkan bahwa pengeluaran untuk makanan bagi rumah tangga yang kepala rumah tangganya merokok lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak. Kondisi ini menjadi bukti nyata bahwa pengeluaran untuk rokok dapat mengalihkan alokasi dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan makanan bergizi, seperti sayur, buah, dan protein berkualitas. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu perokok, tetapi juga oleh seluruh anggota keluarga.

Kebiasaan merokok tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga memengaruhi pola konsumsi individu. Data menunjukkan bahwa individu yang memiliki kebiasaan merokok cenderung memiliki konsumsi kalori dan protein yang lebih rendah dibandingkan yang tidak merokok. Fenomena ini terjadi di semua kelas ekonomi, mengindikasikan bahwa kebiasaan merokok dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap kekurangan asupan kalori dan protein.

Selain itu, pengeluaran rumah tangga untuk rokok seringkali mengorbankan alokasi dana yang seharusnya digunakan untuk makanan bergizi.

Kondisi ini berpotensi memperburuk status gizi keluarga, terutama di kalangan masyarakat yang berada di kelas ekonomi miskin dan rentan miskin. Pada kelompok tersebut, keterbatasan sumber daya semakin memperparah dampak negatif dari prioritas pengeluaran yang tidak seimbang. Mengingat dampak negatif dari kebiasaan merokok, diperlukan upaya intervensi yang tidak hanya berfokus pada aspek kesehatan, tetapi juga pada dampak ekonomi.


CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |