Banyak Gejolak, Simak Laporan Henan Asset Terkait Kondisi di 2025

6 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Kuartal I-2025 resmi mencerminkan betapa menantangnya awal tahun ini. Bulan Ramadan, salah satu momentum yang biasanya menjadi penggerak konsumsi nasional, kali ini justru menunjukkan tanda-tanda melemahnya daya beli.

Hal ini terbukti dari proyeksi Kementerian Perhubungan yang mencatat jumlah pemudik tahun ini mengalami penurunan hingga 24% dibandingkan dengan tahun 2024. Sementara, think-tank Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mencatatkan bahwa penjualan ritel, sebagai indikator daya konsumsi masyarakat juga mengalami penurunan sebesar 12,28% pada Ramadan 2025.

Pasar modal pun tidak luput dari gejolak. Dalam periode 30 hari saja, terjadi dua kali trading halt (sebelumnya terjadi pada masa pandemi Covid-19 lima tahun lalu). Aksi keluar dana asing yang mencapai Rp 6,8 triliun selama 18 Maret 2025 (trading halt pertama) sampai 8 April 2025 (trading halt kedua) memukul sentimen investor domestik.

Dampaknya, banyak yang memilih untuk kembali menyimpan uang dalam bentuk instrumen tradisional atau menunda investasi demi rasa aman.

Kondisi ini dipicu oleh rangkaian peristiwa global dan domestik yang terjadi nyaris bersamaan. Di panggung internasional, kebijakan tarif yang tiba-tiba dan agresif dari Amerika Serikat memicu keresahan.

Di dalam negeri, kontroversi seputar berbagai kebijakan, seperti RUU TNI dan RUU Minerba serta ketidakpastian arah Harga Batubara Acuan (HBA), ditambah dinamika politik yang semakin intens, memperbesar tekanan terhadap aktivitas ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah.

Namun di tengah situasi tersebut, ada beberapa kabar baik yang memberi secercah optimisme. Misalnya, periode distribusi dividen jumbo oleh bank-bank BUMN, serta pengumuman struktur dewan pengawas dari sovereign wealth fund nasional Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang menyertakan sosok-sosok global ternama seperti Ray Dalio, memberikan sinyal positif bagi investor internasional.

Sayangnya, kabar-kabar baik ini belum mampu memberikan dorongan berarti bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Bursa Efek Indonesia (BEI) pun terdorong untuk melakukan beberapa penyesuaian kebijakan pasar secara cepat, mulai dari pelonggaran aturan buyback saham tanpa harus melalui persetujuan mayoritas pemegang saham, penurunan batas Auto Rejection Bawah (ARB), hingga revisi mekanisme trading halt agar lebih adaptif terhadap koreksi pasar ekstrem.

PT Henan Putihrai Asset Management (Henan Asset) menyebut serangkaian kejadian ini membentuk gambaran yang lebih besar bahwa pasar modal tengah dihantui rasa takut. Di tengah kondisi penuh tekanan, banyak investor ritel justru memilih memegang uang tunai alih-alih memanfaatkan peluang beli di harga diskon karena risiko dianggap terlalu tinggi.

"Kami tidak akan membungkus realita dengan kata-kata manis. Volatilitas kemungkinan masih akan menghantui pasar hingga setidaknya akhir semester pertama 2025, dan bisa saja berlangsung hingga akhir tahun. Meski begitu, ini bukan sinyal untuk diam dan menunggu. Inilah saat di mana strategi diplomasi ekonomi yang matang di level global, serta konsolidasi yang kuat di dalam negeri, akan menjadi penentu arah kebijakan dan performa ekonomi ke depan," ujar Strategic & Specialized Research Henan Asset, Adrian Lorenzo, dalam laporannya beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, keputusan Donald Trump untuk menunda pemberlakuan tarif selama 90 hari menjadi ruang bernapas yang berharga. Ini menjadi kesempatan untuk mengevaluasi ulang kekuatan ekonomi nasional, menyusun ulang prioritas perdagangan, dan memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi yang tengah berlangsung.

"Kami percaya bahwa dengan pendekatan yang reformis dan diplomatis, Pemerintah RI mampu memaksimalkan peluang ini," jelasnya.

Lebih lanjut, Henan Asset merangkum berbagai strategi di tengah ketidakpastian tersebut. Di mana selama belum ada sinyal yang jelas mengenai meredanya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, investor sebaiknya menyiapkan pola pikir investasi yang lebih panjang.

"Volatilitas saat ini bukan sekadar hambatan, melainkan bagian dari ritme strategi investasi," tulisnya.

Selain itu, mengintegrasikan risiko dan volatilitas ke dalam strategi bukan berarti menghindari risiko sama sekali, atau malah menyebarkan portofolio secara membabi buta.

"Yang dibutuhkan adalah evaluasi mendalam terhadap masing-masing aset, terutama perusahaan-perusahaan yang saat ini undervalued namun punya prospek pemulihan atau pertumbuhan jangka panjang," jelas Adrian.


(dpu/dpu)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Mana lebih Profit, Investasi di Obligasi, Deposito Vs Emas?

Next Article Ini Prediksi Warren Buffett Soal Investasi Saham di 2025

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |