Salah Kaprah Pelepasan Ikan Invasif dan Dampak Ekologis yang Terabaikan

13 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pelepasan ikan ke perairan alam kerap dianggap sebagai tindakan mulia, dengan dalih memberikan kebermanfaatan bagi Masyarakat dan alam. Namun, di balik niat baik tersebut, tersembunyi dampak ekologis yang sering kali terabaikan. Praktik ini, yang awalnya dimaksudkan untuk melestarikan alam, justru berpotensi merusak ekosistem perairan lokal.

Bahkan, tidak jarang yang melakukan itu instansi-instansi resmi, swasta, serta masyarakat ikut melepas ke perairan umum sebagai bagian dari program, misalnya cinta lingkungan mengembalikan ekosistem sungai atau untuk program ekonomi warga.

Salah kaprah dalam pelepasan ikan invasif telah menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati Indonesia, dan sudah saatnya kita menyadari bahaya yang mengintai.

Ikan invasif adalah spesies yang bukan asli suatu ekosistem tetapi diperkenalkan secara sengaja atau tidak sengaja, dan kemudian berkembang biak dengan cepat hingga mengganggu keseimbangan alam. Pelepasliaran ikan invasif merupakan pelanggaran Undang-Undang Nomor: 45/2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 31/2004 tentang Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 19/2020, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 19/2021. Ikan berpotensi invasif yang dibudidayakan atau dipelihara di fasilitas pemeliharaan/pemancingan harus dipastikan tidak terlepasliarkan ke perairan umum.

Dampak Ekologis yang Luas

Pelepasliaran ikan invasif dan ikan berpotensi invasif yang dilarang diantaranya ikan Gar, Piranha, Arapaima, Lauhan, Peacock Bass, Sapu-sapu, Bawal, Nila, Channa, Mas, Red Tail Catfish, Hampala, Lele, Kura-kura Brazil, dan Lobster Air Tawar. Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan dari tahun 2020-2023, spesies ikan invasif dan ikan berpotensi invasif ini telah menyebabkan penurunan populasi ikan endemik di beberapa danau dan sungai di Indonesia.

Data terbaru dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa 70% perairan darat di Indonesia telah terpapar oleh spesies ikan invasif. Di Danau Toba, misalnya, populasi ikan endemik seperti ikan batak (Neolissochilus thienemanni) terus menurun akibat persaingan dengan ikan nila yang lebih agresif dalam mencari makanan dan ruang hidup.

Pelepasan ikan invasif tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mengganggu rantai makanan alami. Ikan invasif sering kali menjadi predator bagi ikan-ikan kecil endemik atau bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Akibatnya, spesies asli terdesak dan populasinya menurun drastis, bahkan beberapa di antaranya terancam punah.

Selain itu, ikan invasif dapat membawa penyakit yang tidak dikenal oleh ekosistem lokal. Diketahui bahwa ikan-ikan invasif berpotensi membawa parasit yang dapat menginfeksi ikan-ikan lokal. Dampaknya tidak hanya pada biota air, tetapi juga pada masyarakat yang bergantung pada perikanan lokal untuk mata pencaharian mereka.

Ironisnya, kesadaran masyarakat tentang bahaya ikan invasif masih sangat rendah. Pelepasan ikan sering kali dilakukan tanpa pemahaman tentang jenis ikan yang dilepaskan dan dampaknya terhadap lingkungan. Survei yang dilakukan oleh WWF Indonesia pada 2022 menunjukkan bahwa 60% masyarakat tidak mengetahui perbedaan antara ikan endemik dan invasif.

Di sisi lain, regulasi yang ada juga belum cukup kuat untuk mengatasi masalah ini. Meskipun KKP telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2014 tentang Larangan Pelepasan Jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, implementasinya di lapangan masih lemah. Pengawasan terhadap praktik pelepasan ikan di perairan umum masih minim, dan sanksi bagi pelanggar belum cukup memberikan efek jera.

Solusi Berkelanjutan

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Pertama, edukasi kepada masyarakat harus ditingkatkan. Kampanye tentang bahaya ikan invasif dan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati perlu digencarkan melalui media massa, sekolah, dan komunitas lokal.

Kedua, koordinasi dari Kementerian Koordinator Bidang Pangan, yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Karantina Indonesia, terus berupaya untuk ditingkatkan demi memastikan sinergi dalam mengatasi masalah ikan invasif dan memperkuat regulasi dan pengawasan. Pelarangan pelepasan ikan invasif harus diikuti dengan sanksi yang tegas dan sistem pelaporan yang mudah diakses oleh masyarakat. Selain itu, program restocking (penebaran kembali) ikan endemik ke perairan alam harus digalakkan untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem.

Terakhir, kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi perlu ditingkatkan. Penelitian tentang dampak ikan invasif dan upaya konservasi ikan endemik harus terus dilakukan untuk memberikan solusi berbasis data.

Pelepasan ikan invasif mungkin dilakukan dengan niat baik, tetapi dampaknya justru merugikan lingkungan. Sudah saatnya kita mengubah paradigma dan mengambil tindakan nyata untuk melindungi keanekaragaman hayati Indonesia. Jangan sampai niat baik kita justru menjadi bumerang yang menghancurkan ekosistem perairan yang telah ada sejak ribuan tahun. Mari kita jaga alam dengan bijak, karena sekali rusak, sulit untuk mengembalikannya seperti semula.


(dpu/dpu)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |