Saatnya Beralih dari Serakahnomics menuju Syariahnomics

2 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Defisit RAPBN 2026 disepakati melebar menjadi Rp689 triliun atau setara 2,68% PDB. Angka besar ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana pembiayaan defisit dapat benar-benar menghasilkan nilai tambah?

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto tetap menegaskan target pertumbuhan ekonomi 8% dengan agenda transformasi struktural. Ambisi besar itu sulit dicapai jika strategi pembangunan masih bertumpu pada pembiayaan berbasis utang semata.

Dibutuhkan pendekatan yang lebih inklusif, lintas sektor, dan inovatif. Salah satu peluang yang ironisnya belum terkelola serius adalah ekonomi syariah.

Ekonomi Syariah dari Instrumen ke Strategi
Selama ini, peran ekonomi syariah dalam RAPBN cenderung sebatas instrumen fiskal seperti penerbitan sukuk negara, green sukuk, atau layanan haji. Padahal, bila diposisikan sebagai strategi pembangunan lintas sektor, ekonomi syariah justru dapat menjadi motor pertumbuhan baru sekaligus solusi kreatif dalam mengelola defisit.

Potensi ekonomi syariah bukan asumsi belaka. State of the Global Islamic Economy Report 2024/25 mencatat, pengeluaran konsumen Muslim di sektor halal termasuk makanan, farmasi, kosmetik, fashion, perjalanan, media, dan rekreasi telah mencapai US$2,43 triliun pada 2023 (dua kali lipat PDB Indonesia).

Ironisnya, eksportir utama produk halal justru China, India, dan Brasil. Indonesia, meskipun berpenduduk Muslim terbesar, masih lebih dominan sebagai konsumen ketimbang produsen halal global.

RAPBN 2026 memuat delapan program prioritas, di antaranya: ketahanan pangan, energi, makan bergizi gratis, pendidikan, kesehatan, pembangunan desa dan UMKM, pertahanan semesta, dan akselerasi investasi. Semua agenda ini sebetulnya berkaitan erat dengan ekonomi syariah.

Anggaran besar untuk ketahanan pangan bisa diarahkan sekaligus mendorong sertifikasi halal dan industri pengolahan. Program pembangunan desa dan UMKM dapat ditopang pembiayaan syariah. Bahkan penerbitan sukuk negara bisa difokuskan pada kawasan industri halal, bukan sekadar menutup lubang defisit.

Sayangnya, RAPBN 2026 masih lebih "instrument-centric" ketimbang "strategy-centric". Pemerintah memang menerbitkan sukuk dan memperluas green sukuk, tetapi rantai nilai halal mulai dari produksi, logistik, distribusi, hingga ekspor belum terintegrasi dalam kerangka pembangunan nasional. Tanpa desain strategis, ekonomi syariah berisiko sekadar menjadi jargon politik.

Belajar dari Negara Lain
Pengalaman negara lain menunjukkan arah berbeda. Malaysia punya Halal Industry Master Plan 2030 yang merajut kebijakan lintas kementerian. Turki menetapkan target pangsa pasar keuangan syariah 15% pada 2025. Uni Emirat Arab bahkan memosisikan diri sebagai orkestrator ekonomi Islam global. Indonesia masih berkutat dengan retorika "pusat halal dunia" tanpa peta jalan yang nyata dalam anggaran negara.

Padahal, di tingkat kebijakan jangka panjang, ekonomi syariah sudah masuk dalam RPJMN 2020-2024 dan RPJPN 2025-2045. Bappenas menegaskan ekonomi syariah akan menjadi pilar Indonesia Emas, dengan indikator jelas seperti jumlah produk halal bersertifikat, kontribusi aset perbankan syariah, hingga penguatan zakat dan wakaf.

Dalam sarasehan ekonomi syariah di Bank Indonesia Agustus lalu, Sri Mulyani yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Keuangan bahkan menyinggung integrasi anggaran besar program Makan Bergizi Gratis dengan halal value chain, sementara Sesmenko Perekonomian memaparkan rencana Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Halal. Artinya, visi sebenarnya sudah ada tetapi yang lemah adalah keberanian mengartikulasikannya dalam RAPBN sebagai strategi lintas sektor.

Masalah Utama Terletak Pada Politik Anggaran dan Kelembagaan
Selama ini ekonomi syariah masih diposisikan sebagai "fungsi agama" ketimbang strategi pembangunan nasional. Pemerintah lebih fokus pada sukuk sebagai alat pembiayaan fiskal, bukan instrumen industrialisasi halal atau pembiayaan UMKM syariah.

Akibatnya, potensi besar halal value chain tak kunjung bertransformasi menjadi daya saing riil. Padahal, literasi keuangan syariah sudah meningkat hingga 43 persen, meski tingkat inklusi masih rendah di angka 13 persen. Hal ini menandakan ada basis masyarakat, tapi negara belum menyediakan arsitektur kebijakan yang memadai.

Tiga Langkah Strategis
Untuk menjawab tantangan defisit sekaligus mendorong pertumbuhan, ada tiga langkah strategis:

1. Mengarusutamakan ekonomi syariah dalam Nota Keuangan RAPBN dengan indikator kuantitatif kontribusi PDB halal, nilai ekspor halal, hingga porsi pembiayaan UMKM syariah.

2. Social-Impact Sukuk, yakni surat utang syariah yang pembayarannya bergantung pada hasil nyata. Misalnya, sukuk diterbitkan untuk membangun jaringan cold chain ekspor halal. Jika tonase ekspor meningkat sesuai target, investor mendapat imbal hasil lebih besar; jika gagal, return berkurang. Skema ini mengikat pembiayaan dengan outcome, bukan sekadar input, sehingga defisit berubah menjadi investasi berbasis kinerja.

3. Memperkuat kelembagaan: KNEKS tidak cukup hanya menjadi inkubator kebijakan, tetapi juga perlu diberi mandat eksekusi sekaligus fungsi gatekeeper anggaran. Setiap program yang mengklaim "syariah-driven" harus diverifikasi: apakah benar membangun rantai nilai halal atau sekadar jargon politik.

Dari Serakahnomics ke Syariahnomics
Jika ide-ide ini dijalankan, defisit bukan lagi tanda kelemahan fiskal, melainkan peluang untuk bereksperimen dengan model pembangunan baru. Social-Impact Sukuk bisa menjadi pilot project untuk ekspor pangan halal, sementara wakaf-equity bisa mengawali KEK Halal tanpa membebani APBN. Hasil dari proyek-proyek ini dapat diukur, dievaluasi, dan diperbesar di RAPBN tahun berikutnya.

Presiden Prabowo sudah mengingatkan bahaya serakahnomics: pembangunan yang dikuasai nafsu jangka pendek. Jawaban atas tantangan itu adalah syariahnomics: ekonomi berbasis kemaslahatan, gotong royong, dan keberlanjutan.

Defisit Rp689 triliun adalah alarm keras bahwa tanpa inovasi, ia akan menjadi beban. Dengan keberanian untuk bereksperimen, defisit justru bisa menjadi pintu masuk menuju Indonesia Emas 2045.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |