Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung mengalami penguatan pada pagi hari ini (3/3/2025).
Dilansir dari Refinitiv, pada 3 Maret 2025 pukul 10:02 WIB, rupiah Indonesia menjadi mata uang terkuat di Asia dengan apresiasi sebesar 0,29%, diikuti yen Jepang yang naik 0,18%, hingga peso Filipina yang turut menanjak tipis 0,04%.
Sementara baht Thailand tampak terkoreksi 0,03%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,02%, dan yuan China melemah tipis 0,01%.
Rebound yang terjadi pada mata uang Asia akibat indeks dolar AS (DXY) yang tampak melemah 0,37% ke angka 107,21. Ketika DXY tertekan, maka mata uang Asia mengalami kenaikan.
Penurunan pada DXY terjadi setelah munculnya optimisme baru terkait potensi penyelesaian konflik di Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengumumkan pada hari Minggu bahwa para pemimpin Eropa telah sepakat untuk menyusun rencana perdamaian yang akan diajukan ke Washington, hanya beberapa hari setelah ia gagal mencapai kesepakatan dengan Presiden AS Donald Trump di Ruang Oval.
Dolar juga kehilangan sebagian kekuatannya setelah Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyatakan pada hari Minggu bahwa tarif terhadap Meksiko dan Kanada masih "bersifat fleksibel," yang mengisyaratkan bahwa tarif tersebut bisa lebih rendah dari 25% yang diusulkan.
Namun, Lutnick menegaskan bahwa tambahan tarif 10% terhadap China sudah dikonfirmasi dan "ditetapkan." Meskipun ada perkembangan ini, para pedagang masih memperkirakan dolar akan tetap menguat seiring meningkatnya ketegangan dalam perang dagang.
Hal ini, pada gilirannya, dapat mendorong inflasi dan mengurangi kemungkinan Federal Reserve untuk memangkas suku bunga lebih lanjut.
Saat ini, survei CME FedWatch Tool menunjukkan adanya kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali yakni pada bulan Juni, September, dan Desember 2025.
Foto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)