MEDAN (Waspada.id): Hujan sebentar saja, dan Medan kembali lumpuh. Genangan merayap dari jalan utama hingga gang sempit, kendaraan mogok di pintu tol Tembung, dan warga terjebak di banjir yang seolah sudah menjadi bagian dari identitas kota.
Pemandangan seperti itu terjadi Kamis (16/10/2025), pagi. Ruas Jl. Letda Sudjono, kawasan gerbang tol Bandar Selamat, Medan Tembung, tergenang air. Sejumlah kendaraan mogok dan lalu lintas macat. Banjir juga merendam pemukiman warga di Tembung.
‘’Setiap kali langit menitikkan air, wajah lama itu muncul lagi: kota besar yang tak mampu mengelola airnya sendiri. Kini, beban itu berpindah ke pundak Wali Kota baru, Rico. Ia mewarisi persoalan klasik yang gagal diselesaikan Bobby Nasution, warisan banjir yang menuntut keberanian, bukan sekadar kelanjutan proyek,’’ tegas Farid Wajdi kepada Waspada.id, Kamis (16/10/2025).
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 itu menyebut, bahwa selama ini, pembangunan infrastruktur pengendali banjir di Medan lebih banyak berwajah kosmetik ketimbang fungsional.
‘’Parit U-ditch dipasang di mana-mana, tapi sering tidak terhubung dengan jaringan utama. Kolam retensi USU dibangun dengan biaya besar, namun daya tampungnya terbatas dan perawatannya minim,’’ ungkapnya.
Lalu, kata Farid, pompa pengendali rob di Belawan yang semestinya menjadi pelindung malah sering mati karena gangguan teknis. ‘’Semua itu menjelma deretan proyek yang ramai di pemberitaan, tetapi sepi hasil. Bahkan hujan setengah jam saja sudah cukup untuk membuat kota ini tersedak air kiriman dari hulu,’’ ucapnya.
Akar masalahnya jauh lebih dalam, kata Farid. ‘’Banjir Medan adalah akibat dari tata ruang yang kacau dan perencanaan drainase yang tak berbasis sains,’’ ujarnya.
Sungai-sungai utama seperti Deli, Babura, dan Sunggal telah lama menyempit karena alih fungsi lahan yang tak terkendali. Di banyak titik, rumah-rumah berdiri di sempadan sungai, bahkan di atas badan air. Daerah tangkapan hujan di perbukitan sudah dikonversi menjadi permukiman tanpa kajian lingkungan.
‘’Akibatnya, daya serap tanah menurun drastis dan air hujan berlari cepat ke hilir, menumpuk di jantung kota. Ini bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana tata kelola,’’ ungkapnya.
Farid pun menyebut Wali Kota Medan saat ini, Rico Waas harus memulai dari hal yang paling mendasar: membangun sistem pengelolaan air yang rasional dan berbasis data ilmiah. Kota ini butuh pemetaan hidrologi terpadu yang memetakan aliran sungai, kemiringan tanah, dan kapasitas drainase secara akurat.
‘’Tanpa peta air yang lengkap, pembangunan infrastruktur hanya akan seperti menambal perahu bocor dengan kertas,’’ sebutnya.
Medan juga perlu meninjau ulang seluruh rancangan drainase melalui rencana induk yang terintegrasi, dari parit lingkungan hingga sungai besar, agar setiap proyek memiliki arah dan ukuran keberhasilan yang jelas.
Namun, jelas Farid, kerja teknis semata tidak cukup. ‘’Sungai-sungai besar harus dikembalikan pada fungsi ekologisnya melalui program normalisasi dan restorasi sempadan,’’ katanya.
Pemerintah kota perlu menata ulang permukiman di bantaran sungai dengan pendekatan sosial yang manusiawi. Relokasi tak boleh diartikan sebagai pengusiran, tetapi sebagai pemulihan fungsi ruang hidup bersama.
Di sisi lain, saran Farid, konsep kota spons perlu mulai diterapkan. Taman resapan, jalur hijau berpori, dan kebun hujan di kawasan padat bisa membantu mengurangi limpasan air permukaan secara signifikan. Kota ini perlu lebih banyak ruang hijau daripada beton baru.
Teknologi juga harus menjadi bagian dari solusi. Kolam retensi dan pompa pengendali banjir bisa diintegrasikan dengan sistem pemantauan digital berbasis sensor air dan automatic pumping system.
Dengan cara ini, kata Farid, pemerintah dapat memonitor ketinggian air secara real time dan merespons sebelum banjir meluas. Teknologi semacam ini bukan barang mewah; kota-kota seperti Semarang dan Surabaya sudah membuktikan efektivitasnya.
Tetapi semua itu akan sia-sia tanpa keberanian menegakkan hukum tata ruang dan disiplin publik. Selama sungai masih menjadi tempat pembuangan sampah dan izin mendirikan bangunan di sempadan air tetap dikeluarkan, setiap proyek drainase hanya akan menunda bencana berikutnya.
‘’Rico perlu memastikan setiap perda lingkungan benar-benar dijalankan, tanpa kompromi terhadap kepentingan politik atau bisnis,’’ harapnya.
Medan tak lagi butuh pemimpin yang pandai memotong pita proyek, melainkan pemimpin yang berani menegakkan aturan, meski harus berhadapan dengan kepentingan besar.
‘’Jika Rico mampu memimpin pembenahan struktural ini dengan menata sungai, menegakkan tata ruang, memadukan teknologi dan ekologi, tentu ia akan meninggalkan warisan yang lebih berharga dari apa pun: kota yang tidak lagi tenggelam setiap kali hujan,’’ ucapnya.
“Namun jika tidak, maka warisan Bobby akan terus hidup, mengalir di setiap parit yang mampet, dan menenggelamkan harapan warga Medan bersama air yang tak kunjung surut,” demikian Farid Wadji.(id96)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.