Jakarta, CNBC Indonesia - China semakin agresif dalam menyerap kelapa dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Permintaan yang tinggi membuat Negeri Tirai Bambu menjadi salah satu importir utama kelapa dunia, terutama untuk diolah menjadi santan sebagai pengganti susu dalam industri makanan dan minuman. Namun, di balik peluang besar ini,, apakah Indonesia sudah benar-benar memanfaatkan pasar China dengan optimal?
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2025 di Hotel Westin, Jakarta Rabu (26/2/2025), mengungkapkan bahwa kelangkaan kelapa di Indonesia salah satunya disebabkan oleh besarnya permintaan dari China.
"Saya ambil contoh kelapa saja, kita sekarang kekurangan kelapa karena kelapa kita sekarang habis dibeli China," ujar Zulhas.
Ia menjelaskan bahwa kelapa Indonesia banyak diolah menjadi santan yang kini semakin populer di China sebagai alternatif susu. "Untuk pengganti susu jadi kalau bikin kopi sekarang pakai santan," imbuhnya.
Menurutnya, tingginya permintaan dari China mendorong harga kelapa di dalam negeri melonjak. Meski dari satu sisi hal ini menguntungkan petani, di sisi lain, ketersediaan bahan baku di dalam negeri semakin terbatas.
"Jadi kelapa tuh mahal sekali sekarang. Ini contoh bahwa pertanian menguntungkan sekarang pangan sudah mulai bagus, hortikultura lumayan, tanaman perkebunan itu paling menguntungkan, tapi anak-anak muda belum," ungkapnya.
Namun, meskipun permintaan dari China tinggi, ekspor kelapa Indonesia ke negara tersebut masih berfluktuasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kelapa Indonesia ke China mencatat lonjakan signifikan pada 2023, mencapai US$958,689.52 atau sekitar Rp 15,76 miliar (US$1= 16.440) sebelum akhirnya turun ke US$683,499.72 pada 2024. Fluktuasi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki strategi ekspor yang benar-benar matang dan stabil.
Sementara itu, Vietnam justru berhasil mencetak rekor dengan ekspor kelapa yang menembus US$1,1 miliar pada 2024. Keberhasilan Vietnam bukan sekadar kebetulan. Negara ini telah mengamankan perjanjian perdagangan dengan China, memastikan pasokan kelapa segarnya bisa masuk dengan lebih mudah.
Selain itu, lebih dari 600 perusahaan di Vietnam terlibat dalam produksi dan pengolahan kelapa, menciptakan ekosistem yang solid dan kompetitif di pasar global. Sepertiga dari produksi kelapa Vietnam pun telah memenuhi standar organik AS dan Eropa, memungkinkan mereka merambah pasar premium dengan harga lebih tinggi.
Di sisi lain, Indonesia masih terjebak dalam pola lama dengan ekspor yang lebih banyak bergantung pada pasar tradisional tanpa diversifikasi signifikan. Tidak adanya perjanjian protokol perdagangan khusus dengan China membuat akses pasar Indonesia tidak sekuat Vietnam.
Selain itu, kualitas dan standarisasi produk masih menjadi tantangan besar. Jika dibandingkan dengan Vietnam yang telah mampu menembus pasar global dengan kelapa organik bersertifikasi, Indonesia masih tertinggal dalam aspek ini.
Dalam kondisi ini, perlu ada perubahan strategi agar Indonesia bisa bersaing di pasar global. Pemerintah perlu mendorong negosiasi perjanjian dagang yang lebih menguntungkan dengan China dan pasar potensial lainnya. Standarisasi produk dan peningkatan kualitas juga menjadi kunci agar kelapa Indonesia dapat menembus segmen premium.
Selain itu, diversifikasi pasar dan penguatan industri pengolahan kelapa dalam negeri juga harus menjadi fokus utama agar Indonesia tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah, tetapi juga mampu menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)