Respons Kebijakan Proteksionisme AS, Belajarlah pada Huawei dan BYD

3 days ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kebijakan proteksionisme Amerika Serikat (AS) yang semakin agresif, termasuk peningkatan tarif impor dan pembatasan terhadap perusahaan teknologi asing, bukanlah sesuatu yang baru. Huawei menjadi contoh nyata bagaimana sebuah perusahaan yang dilarang beroperasi di AS justru mampu berkembang pesat dan mendominasi pasar global.

Lalu BYD, sebagai produsen kendaraan listrik asal China, menunjukkan juga cara bagaimana strategi investasi jangka panjang dalam teknologi dan dukungan pemerintah yang tepat dapat membawa sebuah industri menjadi raksasa dunia.

Indonesia, dengan segala potensi sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah, rasanya perlu belajar dari keberhasilan yang dilakukan Huawei dan BYD. Keberanian dalam melakukan re-industrialisasi masif di sektor strategis, seperti manufaktur kapal, pesawat, drone, serta hilirisasi migas, pertambangan, pertanian, dan kelautan, harus menjadi prioritas utama.

Investasi Teknologi dan Dukungan Pemerintah
Huawei mengalami tekanan besar akibat larangan penjualan di AS, tetapi perusahaan ini tidak menyerah. Sebaliknya, mereka meningkatkan investasi pada aspek riset dan pengembangan (R&D), terutama dalam jaringan 5G dan teknologi chip independen. Tahun 2023, Huawei mengalokasikan US$23,2 miliar untuk R&D. Nilai investasi tersebut lebih tinggi dibandingkan banyak perusahaan teknologi global lainnya.

Sementara itu, BYD yang awalnya dianggap memiliki teknologi kendaraan listrik yang kurang kompetitif dibandingkan Tesla, mendapat dukungan besar dari pemerintah China. Pemerintah memesan 3.000 unit kendaraan listrik BYD untuk armada taksi dan puluhan ribu unit bus listrik untuk transportasi publik.

Dalam lima tahun, efisiensi produksi meningkat drastis dan biaya spare part turun hingga 80% lebih murah dibanding Tesla. Kini, BYD telah menyalip Tesla dalam total penjualan kendaraan listrik global.

Dari kisah tersebut, setidaknya ada empat kunci kesuksesan yang dilakukan oleh Huawei dan BYD. Pertama, keberanian dalam investasi besar terhadap R&D untuk menciptakan teknologi yang mandiri. Kedua, adanya dukungan kuat pemerintah dalam bentuk subsidi dan permintaan pasar domestik yang membuat industri terkait menjadi tumbuh.

Ketiga, adanya usaha terhadap efisiensi produksi yang terus ditingkatkan. Konsekuensi hal ini membuat daya saing menjadi tumbuh dan meningkat. Kunci sukses keempat adalah keberanian dalam melakukan ekspansi ke pasar global, khususnya di negara-negara berkembang.

Urgensi Re-industrialisasi
Untuk itu, Indonesia sudah sepatutnya mengambil langkah berani dalam melakukan usaha re-industrialisasi sektor strategis. Usaha ini diperlukan untuk meningkatkan daya tahan ekonomi di tengah ketidakpastian global akibat kebijakan proteksionisme AS.

Setidaknya ada beberapa sektor yang harus menjadi fokus utama dilakukan oleh Indonesia. Pertama adalah melakukan otomotif dan kendaraan listrik. Saat ini, Indonesia masih menjadi basis produksi otomotif global, tetapi lebih banyak berperan sebagai produsen dibanding pengembang teknologi.

Peluang untuk melakukan ini adalah mengembangkan kendaraan listrik lokal dengan dukungan kebijakan seperti pemesanan kendaraan listrik untuk transportasi umum, seperti yang dilakukan China.

Jika merujuk data yang ada, saat ini penjualan kendaraan listrik di Indonesia meningkat 680% pada tahun 2023 dengan total lebih dari 50 ribu unit terjual. Ini momentum yang perlu dimanfaatkan dengan produksi lokal yang lebih agresif.

Fokus kedua adalah industri kapal, pesawat, dan drone. Sejauh ini, Indonesia memiliki potensi besar dalam industri maritim dan kedirgantaraan. PT PAL Indonesia telah berhasil membangun kapal perang dan kapal selam, sementara industri drone dalam negeri seperti PT Dirgantara Indonesia mulai berkembang.

Peluang untuk melakukan hal itu adalah meningkatkan investasi di industri ini dan memastikan pemerintah menjadi pembeli utama untuk mempercepat pengembangan teknologi.

Fokus ketiga adalah hilirisasi Sumber Daya Alam (migas, pertambangan, pertanian, kelautan). Saat ini kebijakan hilirisasi nikel telah meningkatkan nilai ekspor Indonesia secara signifikan.

Langkah serupa perlu diterapkan pada sektor lainnya, seperti batu bara, minyak sawit, dan perikanan. Merujuk pada data yang ada hilirisasi nikel meningkatkan nilai ekspor Indonesia menjadi US$30 miliar pada 2022, dibandingkan hanya US$3 miliar saat masih diekspor dalam bentuk mentah.

Fokus keempat adalah pertahanan dan militer. China berhasil menjadi kekuatan militer global dengan mengembangkan industri pertahanannya sendiri. Indonesia sudah seharusnya mulai memperkuat industri alutsista lokal untuk mengurangi ketergantungan impor.

Peluang untuk melakukan ini adalah meningkatkan anggaran R&D pertahanan dan memberi insentif bagi industri dalam negeri untuk memproduksi senjata, kendaraan tempur, dan sistem pertahanan canggih.

Menghadapi Gempuran Proteksionisme AS
Dengan meningkatnya kebijakan proteksionisme AS, Indonesia harus memperkuat daya tahan ekonominya. Langkah yang dapat dilakukan adalah memperkuat pasar domestik melalui subsidi industri strategis dan insentif bagi produk lokal.

Selanjutnya melakukan ekspansi ekspor ke Asia, Timur Tengah, dan Afrika, yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi dan lebih terbuka terhadap kerja sama dengan Indonesia. Berikutnya adalah meningkatkan investasi di R&D untuk mengembangkan teknologi lokal di berbagai sektor industri. Lalu langkah penting lain yang harus dilakukan adalah menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri dengan kebijakan fiskal dan moneter yang pro-investasi dan industri manufaktur.

Semua usaha yang dilakukan Indonesia itu rasanya tidak perlu malu untuk belajar dari keberhasilan Huawei dan BYD. Dalam hal ini, Indonesia harus berani mengambil langkah serupa dengan melakukan re-industrialisasi masif di sektor strategis. Dengan fokus pada industri otomotif, pertahanan, maritim, dan hilirisasi sumber daya alam, Indonesia dapat meningkatkan daya saing global dan mengurangi dampak negatif dari proteksionisme AS.

Semua ini tentunya menjadi keputusan yang ada di tangan kita. Pertanyaannya apakah beranikah kita untuk menjadi pemain utama dalam industri global atau hanya menjadi pasar bagi negara lain?


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |