MEDAN (Waspada.id): Putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menolak gugatan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dalih kedaluwarsanya legal standing bukan sekadar kesalahan teknis hukum.
Hal itu ditegaskan pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda kepada Waspada.id di Medan, Rabu (24/12/2025).
Elfenda menyebut putusan ini menelanjangi problem struktural penegakan hukum di Indonesia, ketika peradilan dan aparat penegak hukum sama-sama bersembunyi di balik prosedur, sementara substansi akuntabilitas publik khususnya terkait pergeseran APBD yang terjadi hingga tujuh kali secara sadar diabaikan.
Padahal dalam persidangan, ucap Elfenda, hakim sendiri berkali-kali menyinggung adanya indikasi mens rea dalam niat dan pola pergeseran anggaran tersebut.
KPK, kata Elfenda, sebagai lembaga dengan kewenangan luar biasa, semestinya berdiri di garis terdepan transparansi dan pengawasan. Apalagi KPK memiliki mandat supervisi sebagai bagian dari pencegahan dalam proses penyusunan dan pembahasan APBD Sumatera Utara setiap tahun.
Namun dalam perkara dugaan korupsi proyek jalan di Sumut, KPK justru menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap fungsi supervisinya sendiri. ‘’Alih-alih membuka diri terhadap pengujian substantif, KPK malah diuntungkan oleh desain hukum yang memungkinkan penghindaran tanggung jawab,’’ cetusnya.
Elfenda menyebut, ketika praperadilan dipatahkan sejak pintu formal, KPK tidak perlu menjelaskan mengapa perintah majelis hakim Tipikor Medan diabaikan, mengapa pejabat kunci tak kunjung dipanggil, dan mengapa status uang sitaan miliaran rupiah dibiarkan kabur.
‘’Diamnya KPK bukan diuji benar atau salah, melainkan dilindungi oleh cacat administratif penggugat,’’ tandasnya.
Elfenda juga menyebut peradilan praperadilan memperlihatkan kecenderungan sistemik yang sama: memilih jalur paling aman bagi institusi. Dengan mengunci perkara pada soal legal standing, hakim secara sadar menghindari wilayah sensitif yang menyentuh kinerja lembaga negara.
‘’Ini bukan soal keberanian personal semata, melainkan cerminan kultur peradilan yang lebih memuja kepastian prosedural ketimbang keberanian etik. Substansi kekuasaan disingkirkan demi kenyamanan formal,’’ ujarnya.
Elfenda menilai masalah ini menjadi semakin serius dalam konteks anggaran Sumatera Utara. APBD Provinsi Sumut 2025 berada di kisaran Rp12,5 triliun. Sejak pergeseran anggaran ketiga hingga keenam, porsi besar diarahkan ke sektor infrastruktur yang justru berujung pada operasi tangkap tangan.
Sementara itu, realisasi dan efektivitas belanja publik di lapangan tetap bermasalah. ‘’Ketika korupsi infrastruktur terjadi, yang dirampok bukan hanya keuangan negara, tetapi hak rakyat atas jalan yang layak, konektivitas ekonomi, dan pelayanan publik yang adil,’’ ungkapnya.
Elfenda mengatakan fakta persidangan bahwa praktik fee proyek 5 persen dianggap “biasa”, suap kepada pejabat dianggap lumrah, adalah tamparan keras bagi rakyat Sumatera Utara yang taat membayar pajak.
‘’Bagi publik Sumut, perkara ini bukan perdebatan akademik tentang hukum acara. Ini adalah soal keadilan anggaran. Anggaran publik adalah wajah kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari,’’ cetusnya.
Ketika dana infrastruktur dikorupsi, dampaknya nyata: jalan rusak, biaya logistik melonjak, akses layanan terhambat, dan kemiskinan struktural terus dipelihara.
Elfenda juga menilai relasi antara KPK dan peradilan dalam kasus ini menunjukkan simbiosis struktural yang berbahaya. Peradilan enggan mengusik wilayah sensitif KPK, sementara KPK tidak terdorong membuka diri terhadap koreksi publik. Keduanya sama-sama diuntungkan oleh sistem yang aman bagi lembaga, tetapi mahal bagi keadilan.
‘’Jika pola ini terus dibiarkan, pesan yang sampai ke publik sangat berbahaya, persoalan besar dapat dihindari selama ada celah administratif. Ini merusak kepercayaan warga terhadap negara. Bagi Sumatera Utara yang masih berjuang mengejar ketertinggalan pembangunan, rusaknya kepercayaan publik adalah beban yang tidak seharusnya ditanggung,’’ jelasnya.
Karena itu, kata Elfenda, reformasi tidak boleh setengah hati. Praperadilan harus diperluas sebagai instrumen kontrol publik, bukan sekadar meja uji administrasi. KPK harus kembali pada roh awalnya sebagai lembaga yang berani diuji, bukan lembaga yang nyaman dilindungi prosedur. Dan peradilan harus menempatkan keadilan substantif di atas kenyamanan formal.
‘’Di situlah harapan publik Sumut bertumpu pada hukum yang tidak hanya rapi di atas kertas, tetapi benar-benar berpihak pada keadilan anggaran dan kepentingan rakyat Sumut,’’ demikian Elfenda Ananda, pendiri perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) dan peneliti di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut ini.(id96)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































