Jakarta, CNBC Indonesia- Di Indonesia, negara mayoritas muslim terbesar di dunia, perternakan babi bukan suatu hal yang dilarang. Peternakan babi masih kerap dijumpai di sejumlah wilayah di Tanah Air, terutama wilayah tengah dan timur Indonesia, seperti Bali, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Meskipun tidak dibatasi atau bahkan dilarang selayaknya negara muslim lainnya, tetapi produksi daging babi mengalami penurunan. Sejak 2020, grafiknya tak lagi menanjak. Sebaliknya, angka produksi terjun bertahap hingga titik terendah dalam lima tahun terakhir. Dari 280.937 ton pada 2020, kini hanya tersisa 130.871 ton di 2024 nyaris separuhnya hilang tanpa gema yang ramai.
Penurunan ini bukan kebetulan. Pada 2020, wabah African Swine Fever (ASF) merebak di sejumlah wilayah Asia, termasuk Indonesia, menghantam peternakan babi di Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Penyakit yang mematikan bagi babi namun tidak menular ke manusia ini membuat ribuan ternak dipotong paksa. Pulih dari ASF bukan hal mudah, apalagi jika infrastruktur veteriner dan kontrol biosekuriti masih tertatih.
Dari segi angka, 2021 mencatat penurunan 7% dari tahun sebelumnya, diikuti oleh penurunan drastis hingga 42% pada 2022. Meski sempat naik sedikit pada 2023, produksi kembali menyusut 15% pada 2024.
Tren ini menandakan bahwa pemulihan bukan sekadar soal waktu, tapi soal prioritas dan kapasitas, dua hal yang belum tentu tersedia untuk subsektor peternakan babi di negeri ini.
Permintaan di Kota Besar Naik
Namun di tengah suramnya angka nasional, ada satu provinsi yang masih bersinar terang, Bali. Pulau Dewata menyumbang lebih dari setengah total produksi nasional dengan volume mencapai 66.231 ton pada 2024. Budaya dan konsumsi lokal menjadikan daging babi sebagai bagian integral dalam kehidupan masyarakat Bali. Di belakang Bali, posisi kedua ditempati oleh Nusa Tenggara Timur (13.394 ton) dan Sumatera Utara (11.340 ton).
Yang menarik, DKI Jakarta pun mencatat produksi daging babi sebesar 5.536 ton, angka yang cukup besar untuk wilayah non-agro. Fenomena ini menunjukkan adanya permintaan pasar yang tetap tinggi di perkotaan, termasuk untuk kebutuhan industri makanan. Provinsi seperti Sulawesi Selatan (4.217 ton) dan Jawa Timur (4.049 ton) turut berkontribusi signifikan, mencerminkan keberagaman basis konsumen daging babi di luar Bali.
Apakah daging babi masih masuk radar strategi ketahanan pangan nasional? Apakah ada ruang untuk insentif pemulihan peternakan pasca ASF? Dan bagaimana memastikan petani kecil tak terus kehilangan pasar mereka karena stigma dan minimnya dukungan teknis?
CNBC Indonesia Research
(emb)