Korea Selatan "Tak Peduli" Tarif Trump, Siap-Siap Dapat Peluang Emas

5 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 4 Mei 2025 lalu mengumumkan tarif 100% atas seluruh film impor. Ia beralasan insentif agresif dari negara lain telah mendorong produksi film ke luar negeri dan mengancam industri film AS.

Namun, belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai bagaimana tarif ini akan diberlakukan. Kurangnya detail dalam pengumuman itu menuai kritik dari pemerintah dan industri hiburan di berbagai negara.

Melansir Korea Herald, Menteri Kebudayaan Prancis menyatakan akan membela sistem dukungan negara bagi sinema lokal. Sementara itu, industri film Australia meminta aktor Mel Gibson yang juga penasihat Trump agar turun tangan.

Industri film India yang mendapatkan sekitar 40% pendapatan internasional dari AS juga menyatakan kekhawatiran. Mereka khawatir distributor AS akan mengurangi pembelian film India dan memaksa sektor ini lebih bergantung pada platform digital.

Studio besar Hollywood dan serikat pekerja hiburan AS memperingatkan tarif ini dapat menaikkan biaya produksi. Mereka juga menilai kebijakan itu bisa melemahkan kinerja box office internasional yang kini jauh melampaui pendapatan domestik.

Tren Berubah

Berbeda dengan negara lain, tanggapan Korea Selatan atas tarif 100% dari Trump cenderung lebih tenang. Pakar menilai dampak langsung ke industri film Korea akan minimal mengingat kecilnya porsi ekspor film Korsel ke AS.

Data Dewan Film Korea mencatat nilai ekspor film Korea Selatan tahun lalu mencapai US$41,93 juta. Hanya sekitar 10% atau US$4,21 juta yang berasal dari ekspor ke Amerika Serikat.

"Ekspor film Korea umumnya berupa rilis video seperti CD atau konten video-on-demand, bukan pemutaran bioskop," kata Kim Yoon-zi dari Bank Ekspor-Impor Korea. Ia menyebut sebagian besar ekspor film Korea ditujukan ke Asia, khususnya Jepang.

Di sisi lain, menurut Kim, bila tarif hanya dikenakan pada cetakan film bioskop, dampaknya bagi Korea akan sangat kecil. Hal ini membuat perusahaan besar seperti CJ ENM, Studio Dragon, dan SLL memilih menunggu kejelasan lebih lanjut tanpa mengeluarkan panduan khusus.

Meski demikian, Kim mengingatkan, dampak keuangan bisa meluas ke sektor lain. "Produksi asing yang syuting di Korea menyumbang pendapatan lokasi yang justru lebih besar dari ekspor film kita ke AS," ujarnya.

Sementara itu, sejumlah pakar melihat peluang tersembunyi dari kebijakan ini. Jika cakupan tarif diperluas ke serial dan tayangan streaming, platform lokal Korea bisa mendapatkan angin segar.

"Tarif ini bisa memberi ruang bernapas bagi layanan streaming domestik karena menekan Netflix dan Disney+," kata kritikus budaya pop Kim Hern-sik. Ia menambahkan produksi jaringan TV Korea juga bisa bangkit karena berkurangnya proyek orisinal Korea dari Netflix.

Kebijakan tarif juga bisa mendorong produser Korea lebih agresif menargetkan pasar non-Inggris. Kesuksesan tayangan seperti When Life Gives You Tangerines, Karma, dan Weak Hero menandakan minat global terhadap K-content terus tumbuh.

"Dulu kami berusaha masuk peringkat AS dan mencari pengakuan kritikus sana. Tapi kini tren berubah, platform global memiliki basis pengguna yang jauh lebih beragam," kata Kim Hern-sik.

Strategi Konten Korea

Korea Creative Content Agency (KOCCA) menjadikan konten lokal sebagai pilar utama ekspansi global. Lembaga di bawah Kementerian Kebudayaan ini mengoperasikan 25 kantor bisnis luar negeri untuk distribusi dan produksi konten terlokalisasi.

Dari 25 kantor tersebut, enam berada di negara berbahasa Inggris, sisanya tersebar di wilayah non-Inggris. KOCCA berencana membuka lima kantor tambahan tahun ini sebagai bagian dari strategi perluasan pasar.

"Kami memiliki strategi menyeluruh untuk memperkuat lokalisasi konten ke berbagai pasar secara lebih terpersonalisasi," ujar perwakilan KOCCA. Strategi ini diharapkan memperbesar penetrasi K-content secara global.

Platform streaming Tving juga sedang bersiap melakukan ekspansi global penuh. Mereka menargetkan pasar dengan permintaan tinggi terhadap K-content seperti Amerika Utara, Asia Tenggara, dan Jepang.

Tving berencana memakai model direct-to-consumer untuk menekan biaya awal. Konten mereka akan diperkenalkan lewat kanal khusus sebelum menarik pengguna langsung.

Target Tving adalah mencapai 15 juta pelanggan pada 2027, dengan proporsi yang seimbang antara pasar domestik dan internasional. Merger dengan pesaingnya, Wavve, dipandang sebagai kunci utama pencapaian target tersebut.

"Merger ini akan menciptakan siklus positif -basis pelanggan yang lebih besar akan meningkatkan kapasitas investasi konten, yang pada gilirannya mempercepat ekspansi global," ujar CEO Tving, Choi Joo-hee, dalam paparan kinerja Februari lalu.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Korsel Guyur Insentif ke Sektor Semikonduktor USD 23,5 Miliar

Next Article Panas Ancaman Perang Dagang Jilid II AS Vs China, KKP Mulai Siap-Siap

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |