Produksi Anjlok, Indonesia Terancam Krisis Minyak Kayu Putih

6 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia — Di antara aroma khas hutan dan warisan pengobatan tradisional, ada minyak kayu putih yang mengalir sebagai nadi ekonomi rakyat dan sekaligus penopang kesehatan keluarga Indonesia. Namun kini, denyut itu mulai melemah.

Produksi nasional yang kian menurun memberi sinyal bahwa salah satu komoditas unggulan hasil hutan bukan kayu (HHBK) Indonesia ini tengah menghadapi tantangan serius.

Minyak kayu putih diperoleh dari penyulingan daun Eucalyptus, pohon yang tumbuh subur di berbagai belahan Nusantara. Proses distilasinya sederhana namun memakan energi.

Daun dimasukkan dalam ketel uap, dipanaskan, hingga menghasilkan uap aromatik. Uap ini lalu didinginkan menjadi cairan, dan minyak dipisahkan dari airnya. Produk akhirnya mengandung senyawa utama seperti cineole (juga dikenal sebagai eucalyptol), yang bersifat antiseptik, antiinflamasi, sekaligus penghangat.

Secara historis, Indonesia mengenal penggunaan kayu putih sejak masa kolonial. Kini, manfaatnya berkembang jauh, dari minyak gosok, inhaler, hingga bahan aktif dalam produk pembersih dan sanitasi rumah tangga. Di masa pandemi, permintaan melonjak akibat perannya sebagai pelindung pernapasan dan penambah daya tahan tubuh.

Namun, produksi nasional justru memperlihatkan tren menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi minyak kayu putih Indonesia pada 2019 mencapai 46.990,16 ton, naik ke 66.287,25 ton pada 2020, dan stabil di angka 67.052,67 ton pada 2021. Sayangnya, tahun 2022 mencatat penurunan menjadi 64.133,04 ton, dan anjlok drastis 34,5% menjadi hanya 41.990,93 ton pada 2023.

Penurunan ini dipicu oleh kombinasi perubahan iklim seperti pola hujan yang tak menentu, peningkatan suhu ekstrem yang memperlambat pertumbuhan daun Eucalyptus dan menurunnya produktivitas lahan akibat degradasi tanah.

Studi dari Journal of Forestry Research menyebutkan bahwa kelembaban tanah yang fluktuatif berdampak langsung pada kualitas dan kadar minyak dalam daun kayu putih. Di sisi lain, keterbatasan peremajaan tanaman dan praktik budidaya yang masih tradisional memperburuk produktivitas.

Potensi kayu putih tersebar luas, mulai dari Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, hingga Papua. Pulau Jawa pun menyimpan cadangan produksi, khususnya di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Akan tetapi produktivitas antardaerah sangat bergantung pada kebijakan kehutanan daerah, akses teknologi penyulingan, serta kemitraan dengan masyarakat sekitar hutan.

Di pasar global, meski Australia identik dengan Eucalyptus, Tiongkok adalah pemimpin industri minyak kayu putih dunia, khususnya jenis E. globulus yang kaya akan cineole hingga 80%.

Australia sendiri lebih banyak memproduksi untuk konsumsi domestik, terutama karena perlindungan terhadap habitat koala. Indonesia berada di antara dua raksasa ini, berkontribusi dalam ekspor regional, terutama ke Malaysia, Singapura, dan Jepang, dengan volume ekspor sekitar 500 ton pada 2022.

Dibandingkan nilai potensi ekologis dan ekonominya, perhatian terhadap pengembangan komoditas ini masih tergolong minim. Padahal, menurut Asian Journal of Agriculture and Biology, pengembangan minyak kayu putih tidak hanya berkontribusi pada ekonomi rural, tetapi juga sebagai strategi restorasi ekosistem karena Eucalyptus mampu tumbuh di tanah marginal dan tahan kekeringan.

Di tengah ancaman perubahan iklim dan fluktuasi pasar, Indonesia perlu segera menata kembali strategi HHBK bukan hanya meningkatkan kuantitas, tetapi juga menjamin kualitas dan keberlanjutan.

Investasi pada riset varietas unggul, teknologi penyulingan ramah lingkungan, serta revitalisasi koperasi produsen bisa menjadi kunci untuk mencegah krisis minyak kayu putih yang mengintai.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |