Jakarta, CNBC Indonesia - Perang perdagangan yang kembali dimulai Presiden Amerika Serikat Donald Trump semakin masif, dan memiliki dampak tekanan ekonomi global secara merata terhadap mitra dagangnya.
Berdasarkan catatan Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI, perang dagang yang dimulai Trump dengan pengenaan tarif resiprokal ini diterapkan terhadap lebih dari 180 negara dan teritori, termasuk Indonesia sebesar 32%.
Kebijakan yang mulai diimplementasikan Trump sejak 5 April 2025 itu menurut kajian LPEM FEB UI secara signifikan menaikkan hambatan perdagangan global dan semakin mempercepat terjadinya de-globalisasi. Tarif AS terhadap produk Indonesia itu hanya berbeda 2% dengan China.
"Trade War Jilid 2 dapat berdampak besar terhadap ketimpangan ekonomi global, terutama lower-income countries," dikutip dari Trade and Industry Brief Volume VIII No. 1 April 2025 LPEM FEB UI berjudul Trade War 2.0 Potensi Dampak Perang Dagang AS dan Implikasi terhadap Indonesia, Selasa (8/4/2025).
Laporan yang disusun Mohamad Dian Revindo, Teuku Riefky, dan Syahda Sabrina itu mencatat, secara global, dampak perang dagang jilid II ini akan lebih parah ketimbang perang dagang jilid I yang diterapkan Trump pada masa pemerintahan periode pertamanya, 2017-2021.
Trade War I sebatas meningkatkan tarif impor terhadap produk dari China, dari sebesar 3,1% pada Januari 2018 menjadi 19,3% per Februari 2020. Dan tarif impor dari terhadap seluruh negara atau rest of the world (RoW) saat itu hanya meningkat dari 2,2% ke 3,0%.
"Tarif (Trade War I) tidak membuat AS berhasil menekan defisit neraca perdagangan baik dengan Tiongkok maupun RoW," menurut LPEM FEB UI.
Pada saat Trade War I Indonesia menurut LPEM FEB UI justru mampu mengambil manfaat. Indonesia mensubstitusi produk Tiongkok di pasar AS dan menarik investasi Tiongkok berorientasi ekspor ke pasar AS, meskipun tidak seberhasil negara ASEAN lain (terutama Vietnam).
Selain itu, Indonesia mengakselerasi berbagai perjanjian bilateral dan regional seperti ASEAN Plus Three (APT), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), hingga BRICS untuk alternatif pasar ekspor dan keberlanjutan rantai pasok.
Namun, era Trade War II ini memberikan dampak buruk bagi perekonomian seluruh dunia, mengingat kebijakan ini diterapkan Trump karena berkaca dari tidak efektifnya Trade War I. Apalagi, negara-negara yang dikenakan tarif tinggi termasuk dalam kelompok berpendapatan rendah yang sulit menerapkan industrial policy reform.
LPEM FEB UI pun telah membuat skema dampak Trade War II terhadap ekonomi dunia saat ini. Pertama, Ekspor seluruh negara dunia ke AS akan menurun. Lalu, overcapacity di China, menyebabkan akan membanjirnya produk dari China ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Akan terjadi pula penurunan aliran investasi langsung atau FDI oleh AS ke berbagai negara, termasuk Indonesia (memilih investasi domestik di AS). Negara-negara dunia malah cenderung akan melakukan FDI ke AS atau negara lain yang terkena tarif yang lebih rendah oleh AS.
Potensi peningkatan FDI Tiongkok ke Indonesia masih ada, walaupun berorientasi non-ekspor (menyasar pasar Indonesia). Adapula potensi peningkatan dumping dari negara-negara industri raksasa (untuk vent for surplus dan menekan harga jual).
Jika terjadi retaliasi tarif dari berbagai negara besar di dunia penurunan perdagangan global pelambatan ekonomi global Potensi kerjasama perdagangan yang lebih intensif antar berbagai negara selain AS.
Terakhir, LPEM FEB UI mencatat, potensi dampak Trade War Jilid II akan menyebabkan sebagian negara melakukan diplomasi langsung secara bilateral dengan AS, sebagaimana telah dilakukan Vietnam.
Mereka pun memperkirakan, ada sejumlah produk ekspor utama Indonesia yang terancam turun karena perang tarif dari AS ini. Di antaranya ialah minyak kelapa sawit dan turunannya yang jumlah ekspornya ke AS pada 2017-2024 senilai US$ 1,29 miliar, maupun alas kaki US$ 1,19 miliar.
Produk mesin dan peralatan listrik menjadi urutan ketiga yang paling terdampak dengan nilai ekspor ke AS selama 7 tahun terakhir senilai US$ 1,02 miliar, ponsel US$ 910,36 juta, ban pneumatic baru US$ 800 juta, hingga produk hewani seperti crustaceans, molluscs, dan invertebrata aquatic lainnya senilai US$ 750,73 juta, serta natural rubber, balata, maupun natural gums yang serupa senilai US$ 672,99 juta.
"Perlu negosiasi bilateral dengan AS untuk menjaga akses pasar produk-produk tersebut," kata LPEM FEB UI.
LPEM FEB UI mengingatkan, meski dependensi Indonesia terhadap ekspor ke AS relatif rendah dibanding negara ASEAN lain (
Di antaranya melakukan negosiasi bilateral dengan AS sebagaimana yang telah dilakukan negara-negara pesaing, terutama di ASEAN dan tidak terpancing untuk melakukan retaliasi balasan. Selain itu, mengevaluasi kebijakan hambatan perdagangan non tarif untuk memoderasi persepsi AS terhadap Indonesia, mengingat berdasarkan laporan USTR, Indonesia dikenakan sanksi perdagangan oleh Trump bukan hanya karena tarif impor terhadap produk dari AS tapi juga atas berbagai kebijakan non tarif.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga harus memperkuat kerja sama produksi (menarik FDI untuk produksi intermediate goods) dengan negara-negara industri yang dikenakan tarif lebih rendah oleh AS (Jepang, Singapura, Malaysia).
Lalu, menguatkan kerjasama dengan negara diluar AS: pendalaman kerjasama BRICS, akselerasi aksesi OECD, akselerasi IEU-CEPA, optimalisasi RCEP. Melakukan reformasi internal untuk memperbaiki iklim usaha dan investasi, meningkatkan produktivitas dan menurunkan ekonomi biaya tinggi (ICOR).
Terakhir, saran LPEM FEB UI ialah berpartisipasi secara aktif dengan berbagai negara untuk mereformasi WTO dan dan mendorong revitalisasi kerja sama multilateral Penguatan pengawasan terhadap impor ilegal dan penguatan instrumen anti dumping.
(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Di Balik 58 Bulan RI Surplus Neraca Dagang, Waspada Ancaman Ini
Next Article Video:Tak Hanya China, 'Teror' Tarif Trump Bikin RI Cs di Ujung Tanduk