Jakarta, CNBC Indonesia - Menjadi orang terkaya atau punya harta banyak seringkali lupa diri akan kehidupan setelah dunia. Tak sedikit dari mereka hidup foya-foya tanpa ingat bahwa semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Para crazy rich seharusnya belajar dari orang terkaya Makkah yang takut dosa dan akhirat, akhirnya memilih hidup miskin sampai wafat. Orang terkaya tersebut adalah Khadijah binti Khuwailid.
Dalam sejarah Islam, Khadijah binti Khuwailid dikenal sebagai istri Nabi Muhammad. Namun, jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, Khadijah merupakan salah satu orang terkaya Makkah yang mempunyai bisnis super besar.
Kekayaan dan bisnis tersebut diperoleh dari warisan suaminya, yakni Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi dan Atiq bin Ayidh. Keduanya mewariskan kekayaan dan jaringan perniagaan yang jadi bekal hidup Khadijah sebagai janda.
Resit Haylamaz dalam Khadija: The First Muslim and the Wife of the Prophet Muhammad (2007) menceritakan, perempuan itu menjalani bisnis dengan tantangan super berat, khususnya terkait stigma rendah perempuan yang sering diremehkan dan dianggap lemah.
Namun, Khadijah tak peduli atas stigma buruk dan tetap berani melangkah dan berbisnis. Selama musim panas dan dingin, Khadijah kerap memimpin pergerakan bisnis dari Makkah ke Damaskus dan Yaman.
Selama proses itu, dia memang tak pernah terjun langsung dan hanya menjadi semacam pengawas. Tugasnya hanya mengarahkan pengiriman barang dan mengorganisir perdagangan internasional. Untuk urusan lapangan, dia memberi tugas kepada orang-orang yang dipercaya.
Salah satu orang kepercayaannya adalah Muhammad bin Abi Thalib, pemuda dari suku Quraisy. Muhammad ditugasi menjual barang dagangan ke kawasan Syam. Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011) menceritakan, selama bertugas Muhammad sukses membuat dagangan Khadijah laku dan membawa cuan.
Selain itu, selama berdagang pemuda asal Makkah itu juga menunjukkan sikap yang membuat Khadijah terpukau: jujur, santun, rendah hati dan amanah. Dari sini, Khadijah mulai jatuh cinta kepada Muhammad, begitu pula sebaliknya, hingga keduanya menikah.
Setelah menikah, Muhammad membantu Khadijah menjalankan bisnis. Meski begitu, tidak ada catatan pasti soal posisi Muhammad di bisnis milik istrinya itu. Satu hal pasti ialah Muhammad tak lagi menjadi pekerja lapangan, tetapi sudah jadi pengurus operasional. Selama proses pernikahan dan kenabian Muhammad, Khadijah menjadi kaya raya.
Takut Dosa & Akhirat
Bagi Khadijah, punya harta banyak membuat hatinya terganjal. Dia merasa kekayaan tak bisa memberikan kedamaian sebab takut dosa dan pertanggungjawaban kelak. Alhasil, dia ingin semua harta bermanfaat bagi orang lain supaya bisa jadi penerang bagi kehidupan di akhirat.
"Karena itulah Khadijah menginginkan kekayaannya jadi tak terhingga, sehingga dia bisa membelanjakan harta itu untuk tujuan Nabi Muhammad," tulis Resit.
Sejak itu, Khadijah dan Muhammad sering sedekah kepada para fakir miskin dan budak.
Selain itu, Khadijah juga kerap mengadakan makan malam bersama bagi orang yang tidak beruntung. Atas dasar ini, selama 10 tahun pertama misi kenabian Muhammad, Khadijah yang semula kaya menjadi tidak punya apa-apa lagi alias miskin karena seluruh hartanya sudah dikorbankan di jalan Allah.
Ketiadaan harta ini terus berlanjut hingga Khadijah meninggal di usia 65 atau tahun 619 Masehi. Bahkan, sumber tradisional Islam menyebut saking miskinnya, Khadijah tak punya stok kain kafan untuk membungkus mayatnya jika meninggal. Atas dasar ini, Khadijah meminta sorban suaminya untuk membungkus, tetapi itu gagal terjadi karena Malaikat Jibril memberinya sorban sebagai kain kafan.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini: