Oleh Nicholas Martua Siagian
Tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidup dengan kebijakan pemerintah dan kebijakan itu keluar dari mulut para pejabat publik. Bayangkan, jika banyak masyarakat menjadi korban dari kegagalan komunikasi pejabat negara.
“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” Pernyatan tersebut berasal dari H.O.S Tjokroaminoto, sosok visioner yang dijuluki sebagai Bapak Pergerakan Nasional Indonesia, yang melalui kepemimpinannya di Sarekat Islam, berhasil menginspirasi lahirnya para pemimpin besar bangsa. Kalimat tersebut begitu menggugah semangat kebangsaan, bukan? Singkatnya, Kalimat itu juga diucapkan oleh H.O.S Tjokroaminoto kepada Ir. Soekarno (Presiden pertama Republik Indonesia) dan murid-murid lainnya.
Kita bersyukur bangsa Indonesia didirikan dan diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa Indonesia yang memiliki kompetensi luar biasa. Bahkan, bisa dibilang pendiri bangsa Indonesia adalah mereka yang benar-benar kompetensi berorasi, menyampaikan gagasan kemerdekaan, berdiplomasi mewujudkan cita-cita bangsa. Mulai dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, H.O.S Tjokroaminoto, Bung Tomo, H.R. Rasuna Said, dan masih banyak lagi yang sangat inspiratif atas jasanya dalam Republik Indonesia.
Itu mengapa hingga saat ini, pemikiran, pandangan, pidato, dan karya lainnya menjadi kenangan abadi bahwa Bangsa Indonesia didirikan oleh para cendekiawan. Lantas, setelah 79 tahun Indonesia merdeka, apakah orang-orang seperti para pendiri bangsa kita masih ada? Atau nyaris punah?
Pada Rabu, 5 Maret 2025 saat Rapat Komisi X DPR RI bersama Kemenpora hingga Ketua Umum PSSI membahas naturalisasi pemain Timnas Indonesia. Salah satu anggota DPR RI menyampaikan usulan demikian, “Kalau bisa dicari yang mungkin dari yang rasnya mirip-mirip dengan kita, entah itu dari Korea atau dari Afrika yang mirip-mirip kita gitu. Engga masalah banyak, engga ada masalah, yang penting warnanya, warna kulitnya masih seperti kita, karena bule itu dilihatnya kayaknya sepertinya gimana gitu lho pak, itu tujuan usulan saya.”
Lebih kontroversinya lagi dari yang disampaikan adalah, “Naturalisasi tidak harus itu pemain, bisa juga yang sudah diatur usia 40 tahun, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat. Kita jodohkan dengan perempuan Indonesia. Nah, anaknya itu yang kita harapkan menjadi pemain bola yang bagus. Ini jadi pemikirannya agak out of the box, tapi bisa dianggarkan untuk 2026 programnya.”
Bayangkan, statement tersebut datang dari seorang anggota DPR yang duduk di lembaga yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga yang orang-orangnya dipilih melalui pemilihan legislatif. Menyedihkan, bukan? Bahkan, tidak ada sisi pengetahuan hingga teknokratik dari yang diucapkan sama sekali. Padahal, sejak berangkat dari rumah hingga sampai di DPR, negara memberikan fasilitas yang begitu fantastis terhadap seluruh anggota DPR. Tidak hanya itu, rumah dinas, tunjangan, dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Kalau dibedah lebih dalam, pernyataan “Naturalisasi tidak harus itu pemain, bisa juga yang sudah diatur usia 40 tahun, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat. Kita jodohkan dengan perempuan Indonesia,” seharusnya tidak keluar dari seorang pejabat publik apalagi di dalam rapat formal di dalam gedung negara. Bukan hanya sebuah kesalahan dari etika pejabat publik, namun mendiskreditkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, yang bahkan kalau dikaji lebih dalam, berpotensi merendahkan martabat perempuan Indonesia.
Memang ini bukan kali pertama kali terlihat kegagalan komunikasi pejabat publik di negara kita. Baru-baru ini, juga terjadi ramai dibahas di media sosial, seorang bupati yang membalas komentar seorang warga dengan ucapan yang tidak pantas dan tidak selayaknya sebagai seorang pejabat publik, sebagai penyelenggara negara yang seluruh fasilitasnya berasal dari uang rakyat.
Lantas, menjadi pertanyaan kontemplatif bagi masyarakat kita, apakah masih ingin mencari pemimpin sekadar popularitas atau mau yang benar-benar punya kompetensi dan kualitas? Mau yang bisa ‘ngomong strategis dan penting’ atau yang penting ngomong? Salah satu hal penting yang mengakibatkan gagalnya komunikasi pejabat adalah tidak bisa membedakan mana saatnya menjadi seorang individu (privat), mana saatnya menjadi seorang pejabat publik. Ketika dua-duanya dilakukan oleh satu orang secara bersamaan, maka ada kemungkinan melanggar etika komunikasi sebagai pejabat publik, hingga kemungkinan konflik kepentingan.
Dalam buku yang berjudul, “Public Relations: Strategies and Tactics” yang ditulis oleh Dennis L. Wilcox dan Glen T. Cameron, mereka menyatakan bahwa gaya komunikasi yang buruk dari pejabat publik dapat mengindikasikan kebijakan yang tidak dipikirkan dengan baik atau tidak memiliki dukungan publik yang memadai. Mereka juga menekankan bahwa komunikasi yang efektif adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan dukungan terhadap kebijakan.
Artinya, kalau kaitkan dengan kondisi ugal-ugalan pengambilan keputusan dan kebijakan di Indonesia, juga ditandai dari gaya komunikasi pejabat publik yang tidak efektif. Jangan sampai komunikasi pejabat publik justru menyayat hati rakyat. Tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidup dengan kebijakan pemerintah dan kebijakan itu keluar dari mulut para pejabat publik. Bayangkan, jika banyak masyarakat menjadi korban dari kegagalan komunikasi pejabat negara.
Etika komunikasi pejabat publik haruslah memperhatikan kejujuran, penghormatan, tanggungjawab, dan konsistensi dalam menyampaikan pesan. Gaya komunikasi pejabat publik tidak hanya penting untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun kepercayaan, mempengaruhi opini publik, dan memperkuat citra negara.Sekali lagi, mengutip pernyataan dari Bapak pergerakan Nasional Indonesia, H.O.S Tjokroaminoto, “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” Semoga pejabat publik yang ada saat ini segera merenung, mengingatkan kembali, dan meneladani para pendiri bangsa kita, bahwa bangsa Indonesia didirikan oleh orang-orang yang berjiwa besar, nasionalis, dan berkualitas, bukan sekadar popularitas.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.