Miris! Pernikahan di 2 Negara Tetangga RI Turun Drastis, Ada Apa?

1 hour ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Separuh penduduk Bangkok, Thailand diketahui masih berstatus lajang, membuat angka pernikahan di Thailand turun drastir, terutama di kalangan muda.

Begitu juga di Vietnam, di mana usia pernikahan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Masalah keuangan dan masalah lainnya membuat cinta dan keluarga menjadi hal yang lebih sulit bagi generasi muda.

Di Thailand, seperempat penduduk masih lajang. Di antara mereka yang berusia 25 hingga 34 tahun, proporsinya meningkat menjadi tiga dari sepuluh.

Sementara di Vietnam, yang secara tradisional merupakan salah satu masyarakat yang paling berorientasi pada pernikahan di Asia Tenggara, telah mengalami perubahan sikap dalam beberapa tahun terakhir. Usia rata-rata pernikahan pertama meningkat dari 25,2 pada 2019 menjadi 27,3 saat ini. Di Kota Ho Chi Minh, angkanya mencapai 30,4.

Semakin banyak anak muda yang tidak lagi menganggap pernikahan sebagai tonggak penting, karena mereka banyak yang ragu-ragu atau bahkan menjauhinya sama sekali. Hal ini menuai ketidaksetujuan dari beberapa kalangan.

"Dalam beberapa hal, saya pribadi melihat mereka agak egois. Mereka hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri," kata Tran Thanh Nam, wakil rektor Universitas Pendidikan di bawah Universitas Nasional Vietnam, dikutip dari CAN.

"Mereka kurang memiliki rasa tanggung jawab dan perspektif bahwa mereka adalah warga negara dan harus memiliki kewajiban untuk berkontribusi," tambah Nam.

Pernikahan Tetap Dihargai, Tapi Bukan Keharusan

Di sebagian besar Asia, pernikahan dan anak-anak dulunya merupakan satu jalur yang tak perlu dipertanyakan. Anak dipandang sebagai aset, dan kehidupan berjalan dalam urutan yang sudah biasa, belajar, menikah, menjadi orang tua.

Namun, pandangan tersebut mulai kehilangan pengaruhnya. Generasi muda saat ini mendekati pernikahan dengan lebih mandiri.

Dengan akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan peluang karier, serta percakapan yang lebih terbuka tentang peran gender dan struktur keluarga, mereka melihat serangkaian kemungkinan yang lebih luas untuk membentuk kehidupan yang mandiri, dengan lebih sedikit kewajiban.

Perusahaan riset pasar Milieu menemukan dalam survei baru-baru ini bahwa pernikahan dan anak-anak tetap dihargai di Asia Tenggara, tetapi tidak lagi dianggap penting untuk kehidupan yang memuaskan, di mana hal ini menjadi pandangan yang paling kuat dipegang oleh Generasi Z.

Tumbuh dewasa di era "suram" yang ditandai oleh ketidakpastian ekonomi, kecemasan iklim, dan ketegangan geopolitik, Generasi Z "terlahir dengan pesimisme" dan lebih cenderung menentukan jalan hidup mereka sendiri.

Kehidupan mereka juga sangat digital. Menghabiskan berjam-jam online setiap hari membuat mereka kewalahan oleh informasi, menciptakan apa yang digambarkan sebagai pandangan yang lembam dan kecenderungan untuk "menunda segalanya".

Dengan fokus kaum muda pada stabilitas keuangan, keraguan mereka untuk menikah bukan hanya soal materialisme. Bagi banyak dari mereka, pernikahan dan anak-anak menghadirkan beban keuangan yang signifikan.

Meskipun survei terbaru Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) di 14 negara di lima benua menunjukkan bahwa lebih dari 60% responden ingin memiliki setidaknya dua anak, mereka agak terjebak dalam situasi tersebut.

Bagi banyak orang, keamanan finansial juga lebih penting daripada pernikahan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |