Mengenal Fenomena Profit Taking Di Pasar Saham Indonesia

10 hours ago 4

MEDAN (Waspada.id): Pasar saham Indonesia kembali bergejolak dalam sepekan terakhir. Setelah sempat menembus level 8.100-an, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik arah dan menutup perdagangan di posisi 7.915,66 poin.

Koreksi sekitar dua setengah persen ini menandai berakhirnya fase penguatan jangka pendek yang telah berlangsung sejak awal bulan. Namun di balik pergerakan tersebut, tersimpan sebuah fenomena klasik dalam dunia investasi yang dikenal sebagai profit taking atau aksi ambil untung yang dilakukan investor setelah harga saham naik cukup tinggi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Sumatera Utara, M. Pintor Nasution menyebutkan, Profit taking bukanlah tanda bahwa pasar sedang jatuh bebas. Sebaliknya, ia adalah napas alami dari setiap pergerakan pasar yang sehat. Ketika harga saham telah naik signifikan, sebagian investor memilih untuk merealisasikan keuntungannya. Mereka menjual sebagian atau seluruh kepemilikannya agar keuntungan yang sebelumnya hanya “di atas kertas” berubah menjadi uang tunai nyata.

Dalam jangka pendek, aksi serentak semacam ini bisa menekan harga saham, sehingga indeks tampak menurun. Namun di balik itu, pasar sebenarnya sedang melakukan penyesuaian agar tidak melaju di luar nilai wajar.

“Fenomena ini sering kali terjadi setelah periode euforia. Ketika berita positif mendominasi, harga saham melesat, dan banyak investor ritel ikut masuk karena takut ketinggalan momentum. Saat tekanan beli mencapai puncak, pelaku pasar yang lebih berpengalaman biasanya mulai berhitung. Apakah harga saat ini sudah terlalu tinggi dibanding kinerja fundamental perusahaan? Jika ya, maka mereka memutuskan untuk mengunci keuntungan. Dalam bahasa sederhana, profit taking adalah bentuk kedisiplinan finansial. Strategi untuk berhenti pada waktu yang tepat,” jelas Pintor, Selasa (28/10).

Di pasar modal Indonesia, lanjut Pintor,  fenomena profit taking biasanya terlihat setelah rilis data ekonomi atau laporan keuangan yang kuat, atau setelah IHSG mencetak rekor baru. Awal Oktober, misalnya, ketika indeks sempat melampaui 8.100 poin, banyak pelaku pasar memanfaatkan momen tersebut untuk merealisasikan cuan. Dalam waktu singkat, tekanan jual meningkat, terutama di saham-saham perbankan besar, material, dan industri dasar. Hasilnya, indeks terkoreksi meski sentimen ekonomi secara umum masih positif.

Menurutnya, bagi investor pemula, koreksi semacam ini sering menimbulkan kepanikan. Mereka mengira pasar sedang anjlok, padahal yang terjadi hanyalah fase penyesuaian. Pasar saham, seperti manusia, tidak bisa berlari terus tanpa berhenti. Ia perlu menarik napas agar mampu berlari lebih jauh. Profit taking adalah fase ketika harga-harga menyesuaikan, keseimbangan permintaan dan penawaran dipulihkan, dan fondasi untuk kenaikan berikutnya dibangun.

“Salah satu kesalahan umum investor baru adalah terburu-buru menjual semua saham ketika melihat penurunan harga akibat profit taking. Padahal, jika koreksi yang terjadi masih wajar dan tidak disertai perubahan fundamental, maka itu bisa menjadi kesempatan membeli kembali di harga lebih rendah. Dalam konteks jangka panjang, memahami siklus ini jauh lebih penting daripada mencoba menebak waktu yang tepat untuk keluar dan masuk pasar. Bahkan investor legendaris seperti Warren Buffett sering menekankan bahwa pasar jangka pendek adalah mesin voting, sementara pasar jangka panjang adalah mesin penimbang nilai sebenarnya,” jelasnya.

Fenomena profit taking juga bisa mencerminkan kedewasaan sebuah pasar. Di negara dengan investor yang sudah matang, fluktuasi akibat aksi ambil untung dianggap hal biasa. Investor memahami bahwa pasar yang selalu naik tanpa koreksi justru berisiko tinggi, karena bisa menciptakan gelembung harga (bubble). Sebaliknya, koreksi yang disebabkan oleh profit taking menandakan bahwa mekanisme pasar bekerja sebagaimana mestinya. Investor rasional mengambil untung, harga terkoreksi, lalu pelaku pasar lain masuk kembali di level harga yang sesuai dengan fundamentalnya.

Dalam situasi seperti ini, kata Pintor, strategi terbaik bagi investor ritel adalah menjaga keseimbangan antara keberanian dan kesabaran. Tidak semua penurunan harus dihindari, dan tidak setiap kenaikan harus dikejar. Ketika harga saham terkoreksi akibat profit taking, fokuslah pada nilai jangka panjang dan fundamental perusahaan. Apakah kinerjanya masih solid? Apakah prospeknya masih menjanjikan? Jika jawabannya ya, maka penurunan harga hanyalah sementara. Di sinilah pemahaman dan analisis diuji. Bukan pada saat pasar sedang naik, tetapi ketika kita tetap tenang di tengah gejolak.

Profit taking juga menjadi momentum refleksi bagi investor tentang pentingnya disiplin. Banyak orang terlalu fokus pada kapan harus membeli, tetapi lupa mempelajari kapan sebaiknya menjual. Padahal, menjual dengan tepat waktu sama pentingnya dengan membeli di harga murah. Menetapkan target keuntungan dan batas risiko sejak awal akan membantu investor menghindari keputusan emosional. Dengan begitu, setiap langkah di pasar saham bukan lagi reaksi spontan terhadap grafik, melainkan hasil dari perencanaan yang matang,” ujarnya.

“Ketika IHSG terkoreksi di akhir Oktober, setelah serangkaian kenaikan, sesungguhnya pasar sedang mengajarkan kita satu hal. Bahwa mengambil untung adalah bagian dari perjalanan, bukan akhir dari cerita. Karena setelah setiap aksi profit taking, selalu ada peluang baru yang lahir, peluang bagi mereka yang percaya bahwa pasar saham, pada akhirnya, selalu bergerak menuju nilai sejatinya,” pungkasnya. (id09)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |