Jakarta, CNBC Indonesia - Praktik jual beli kendaraan STNK only kembali marak di berbagai daerah dan mulai meresahkan industri pembiayaan. Di tengah gencarnya digitalisasi transaksi kendaraan, kemunculan pasar gelap model baru ini justru makin terbuka lewat media sosial.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengingatkan bahwa fenomena tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam konsumen yang terbuai harga murah.
"Permintaan kendaraan STNK only juga banyak karena adanya sarana pendukung, misalnya grup komunitas di media sosial. Ketika sebuah komunitas terbentuk, seolah-olah praktik ini dianggap benar dan diterima masyarakat. Padahal kenyataannya bertentangan dengan hukum," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/12/2025).
Ia menilai perputaran informasi yang cepat di platform digital membuat masyarakat kerap salah paham dan menganggap transaksi semacam ini aman-aman saja. Sebagian pembeli merasa cukup memiliki kunci dan STNK tanpa peduli status kepemilikan sah.
Foto: Sejumlah dealer motor sport di Cipinang dan Condet, Jakarta Timur pada Rabu (10/9/2025), bekas tampak sepi pembeli. (CNBC Indonesia/Chandra Dwi Pranata)
Sejumlah dealer motor sport di Cipinang dan Condet, Jakarta Timur pada Rabu (10/9/2025), bekas tampak sepi pembeli. (CNBC Indonesia/Chandra Dwi Pranata)
"Masyarakat yang tidak peduli soal BPKB merasa cukup punya kunci dan STNK, padahal itu berbahaya. Fenomena ini sebenarnya sudah cukup lama muncul, namun belakangan semakin melebar dan terorganisasi, bahkan menjadi komunitas," bebernya.
Padahal persepsi keliru semacam ini muncul karena kurangnya literasi hukum terkait kendaraan bermotor. Menurutnya, baik pembeli maupun penjual sesungguhnya menanggung risiko besar.
"Pembeli kendaraan STNK only sebenarnya juga merugikan diri sendiri karena barang tersebut bukan hak sepenuhnya. Penjualnya pun kerap tidak memahami risikonya. Jika kendaraan itu melanggar aturan, tetap pemilik sah yang akan terkena urusan hukum. Pembeli tidak bisa mengubah kepemilikan karena sejak awal hanya memegang STNK," katanya.
Ia menekankan bahwa sengketa hukum bisa muncul kapan saja, bahkan ketika kendaraan telah berpindah tangan berkali-kali. Lebih jauh, ia mengingatkan potensi jeratan pidana bagi pembelinya.
"Jika suatu hari kendaraan itu dihentikan di jalan atau ditarik debt collector karena masih berstatus kredit, pembelinya bisa terjerat pidana sebagai penadah. Banyak orang tidak menyadari bahwa ada konsekuensi hukum serius dari transaksi seperti ini," jelas Suwandi.
Risiko ini tidak main-main karena sebagian besar kendaraan STNK only berasal dari unit bermasalah atau masih dalam pembiayaan. Untuk memutus rantai praktik tersebut, APPI mendorong langkah tegas pemerintah. Termasuk penindakan yang lebih masif agar menekan peredaran motor STNK only yang belakangan semakin merajalela di dunia maya.
"Untuk mengatasi hal ini, langkah pertama adalah menutup semua kanal digital yang memfasilitasi praktik tersebut melalui Kementerian Komunikasi dan Digital. Penegakan hukum tetap berjalan, tetapi prosesnya tidak bisa instan karena polisi juga memiliki banyak beban kerja. Meski begitu, sudah banyak kasus yang berlanjut ke proses pidana," tuturnya.
(fys/wur)
[Gambas:Video CNBC]

2 hours ago
1
















































