Jakarta, CNBC Indonesia- Harga kakao global sedang dalam tren melemah setelah Organisasi Kakao Internasional (ICCO) mengumumkan proyeksi surplus 142.000 ton untuk musim 2024/25. DI tengah tren pelemahan harga, impor kakao Indonesia melonjak.
Sempat menyentuh level terendah dalam empat bulan, harga kakao di pasar global masih tertekan, meskipun ada sedikit pemulihan di akhir perdagangan.
Data Statistik untuk Kakao Indonesia 2023 mencatat bahwa luas perkebunan kakao di Indonesia terus menyusut dari 1,56 juta hektare pada 2019 menjadi hanya 1,39 juta hektare pada 2023.
Dampaknya, produksi kakao nasional juga ikut merosot dari 734,8 ribu ton menjadi hanya 632,12 ribu ton dalam periode yang sama. Tak hanya itu, produktivitas tanaman kakao pun menurun dari 705 kg/ha pada 2019 menjadi 640 kg/ha pada 2023.
Merosotnya produksi ini tentu berimbas pada rantai pasok industri. Di satu sisi, industri pengolahan kakao dalam negeri tetap berjalan, terutama untuk memenuhi permintaan ekspor. Namun, tanpa pasokan bahan baku yang cukup dari dalam negeri, ketergantungan terhadap impor makin tak terhindarkan.
Namun, di tengah harga yang cenderung menurun, Indonesia justru mencatat lonjakan impor kakao dan olahannya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Januari 2025, nilai impor kakao Indonesia mencapai US$0,3 miliar, melesat 119% secara bulanan (mtm) dibandingkan US$0,14 miliar pada Desember 2024. Dari jumlah ini, US$136,79 juta berasal dari Ekuador, berupa biji kakao mentah maupun sangrai.
Di sisi lain,ekspor Indonesia hanya naik tipis. Nilai ekspor kakao dan produk olahannya naik 3,4% secara bulanan, mencapai US$320,52 juta pada Januari 2025.
Negara tujuan utama ekspor adalah Amerika Serikat (US$71,66 juta), India (US$47,49 juta), dan China (US$35,34 juta), dengan produk unggulan seperti mentega kakao, lemak dan minyak kakao, bubuk kakao, dan pasta kakao.
Ekspor terbesar masih didominasi oleh produk olahan, bukan biji kakao. Artinya, bahan baku yang diproses di dalam negeri lebih banyak berasal dari luar negeri. Pada 2023, misalnya, ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao mencapai 627,42 ribu ton, pasta kakao 174,52 ribu ton, dan bubuk kakao 283,33 ribu ton. Namun, ekspor biji kakao hanya 46,92 ribu ton, jauh lebih kecil dibandingkan volume bahan baku yang diolah.
Melemahnya harga kakao global memang bisa jadi berkah bagi industri pengolahan dalam negeri karena bahan baku menjadi lebih murah. Tapi, ketergantungan yang tinggi terhadap impor bisa jadi bumerang jika harga global kembali melonjak. Tanpa strategi untuk meningkatkan produksi dalam negeri, posisi Indonesia dalam rantai industri kakao global tetap lemah dan tidak berdaya menghadapi fluktuasi harga dunia.
Dengan produksi dalam negeri yang terus merosot, apakah kita sedang membangun industri kakao yang kuat, atau justru makin jauh dari kemandirian?
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)