
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
JAKARTA (Waspada.id): Ketua Komite III DPD RI Filep Wamafma menegaskan pentingnya perlindungan konsumen di tengah pesatnya perkembangan industri, perdagangan, dan teknologi digital.
“Globalisasi dan kemajuan teknologi telah memperluas ruang transaksi barang dan jasa, termasuk melalui e-commerce. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan baru, di mana posisi konsumen sering kali tidak seimbang dengan pelaku usaha. Perlindungan konsumen menjadi mutlak untuk memastikan masyarakat tidak hanya menjadi objek bisnis, tetapi juga subjek yang hak-haknya dijamin oleh negara,” ujar Filep dalam rapat dengar pendapat umum dengan pakar hukum Yusuf Shofie dan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Niti Emiliana, di Ruang Rapat Sriwijaya, Gedung B DPD RI, Senin (22/9/2025).
Rapat dengar pendapat umum ini digelar dalam rangka inventarisasi materi pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber utama.
Komite III juga menyoroti hasil survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Nasional tahun 2024 yang menunjukkan nilai 60,11 atau kategori “kritis”.
“Meskipun ada peningkatan, budaya penegakan hukum di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Banyak konsumen yang justru digugat balik saat melaporkan masalah, sehingga diperlukan mekanisme imunitas hukum agar konsumen terlindungi,” tambah Filep Wamafma
Pada kesempatan tersebut, Yusuf Shofie menegaskan bahwa negara wajib hadir secara aktif dalam melindungi konsumen melalui pengawasan dan penegakan hukum yang konsisten.
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen. Pemerintah tidak boleh hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga harus aktif mengawasi dan menindak pelanggaran,” ujar Yusuf Shofie.
Ia menyoroti praktik pencantuman klausul baku dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen yang kerap menempatkan konsumen pada posisi lemah. Menurutnya, Pasal 18 UUPK 1999 sudah melarang klausul baku tertentu, namun praktiknya masih banyak ditemukan di lapangan.
“Konsumen sering kali terpaksa menerima perjanjian baku tanpa ruang untuk bernegosiasi. Inilah yang membuat posisi mereka tidak sejajar dengan pelaku usaha,” tegasnya.
Yusuf juga mengingatkan bahwa sanksi pidana dalam UUPK 1999 bukanlah sekadar ultimum remedium, tetapi dapat menjadi primum remedium untuk melindungi keamanan dan keselamatan konsumen.
“Negara harus berani menindak pelaku usaha yang melanggar hukum perlindungan konsumen. Hal ini bukan hanya untuk memberi efek jera, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pasar,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya penerapan prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang diakui secara internasional dan diadaptasi dalam UUPK. “Perlindungan konsumen bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal keadilan sosial. Klausul baku yang sering dicantumkan pelaku usaha harus diawasi ketat agar tidak merugikan konsumen,” tegasnya.
Sementara itu, Niti Emiliana dari YLKI mengatakan perlunya edukasi dan pemberdayaan konsumen.
“Konsumen harus berani memperjuangkan haknya dan tidak ragu melaporkan pelanggaran. Namun, negara juga harus hadir memberikan perlindungan nyata, termasuk dalam menghadapi tantangan era digital,” ujarnya.
Niti juga menegaskan perlunya pembaruan regulasi dan penguatan kelembagaan perlindungan konsumen di Indonesia. “YLKI melihat perlindungan konsumen di Indonesia masih lemah. Kasus pengaduan konsumen terus meningkat, mulai dari pinjaman daring ilegal, belanja online yang bermasalah, hingga sengketa perumahan. Konsumen sering dirugikan karena lemahnya penegakan hukum,” pungkasnya.
YLKI mencatat 1.675 pengaduan konsumen sepanjang 2024, dengan masalah terbesar berasal dari sektor jasa keuangan, e-commerce, telekomunikasi, perumahan, dan layanan paket. Menurut Niti, pola konsumsi digital membuat risiko kerugian konsumen semakin besar, terutama terkait keamanan data pribadi dan transaksi lintas negara.
Komite III DPD RI berkomitmen untuk terus mengawal pelaksanaan UUPK agar mampu mewujudkan perlindungan konsumen yang adil, transparan, dan berkeadilan sosial, sejalan dengan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Hasil rapat dengar pendapat umum ini akan digunakan Komite III DPD RI dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di masa sidang mendatang. (id10)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.