
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh: Novita Rohdearni Saragih, SKM, M.Sc, MA – Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
Penyelenggaraan Imunisasi adalah salah satu keberhasilan global di dalam pencegahan penyakit mematikan. Namun di Sumatera Utara, cerita ini belum tuntas. Bukan karena kurangnya vaksin atau tenaga medis, melainkan karena tantangan yang lebih kompleks yaitu kepercayaan (Trust).
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Imunisasi bukan hanya sekadar urusan teknis pemberian suntikan saja namun lebih kepada sebuah proses sosial yang dibentuk oleh persepsi, budaya, dan pengaruh kecepatan arus informasi baik itu benar maupun keliru.
Sebuah survei terbaru oleh Global Health Strategies di Medan dan Langkat mengungkapkan sebuah ironi yang menggugah. Di Kota Medan, dengan fasilitas lengkap dan akses yang baik hanya 22,92%% anak yang menyelesaikan imunisasi lengkap sesuai usia. Sementara Langkat, yang jauh lebih rural, mencatat capaian 43,75%.
Apa yang membedakan?
Jawabannya bukan soal infrastruktur, tapi keyakinan masyarakat terhadap imunisasi. Orang tua di Langkat percaya pada imunisasi. Mereka aktif bertanya ke bidan, mencari informasi, dan bersikap terbuka. Di Medan, sebaliknya, kekhawatiran mendominasi: takut demam, isu kehalalan vaksin, bahkan hoaks soal efek samping jangka panjang.
Faktor pemicunya? Media sosial.
Survei yang sama menunjukkan bahwa platform digital seperti WhatsApp, Facebook, dan TikTok menjadi sumber utama informasi imunisasi. Sayangnya, bukan selalu dari sumber terpercaya. Di kota seperti Medan, satu cerita buruk bisa menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Dan dalam iklim ketidakpastian, rasa takut lebih berpengaruh daripada data ilmiah. Fakta membuktikan: ketika pesan disampaikan lewat saluran resmi seperti akun pemerintah atau tenaga kesehatan tingkat kepercayaan meningkat. Bahkan tokoh-tokoh kesehatan seperti dr. Indra mendapat respons positif di media sosial. Artinya, pendekatan komunikasi kita harus berubah: dari spanduk dan baliho, ke konten pendek yang jujur dan menyentuh di platform tempat masyarakat kini mencari jawaban.
Lebih dari itu, kita harus mengenali “influencer lokal” yang telah dipercaya masyarakat. Tokoh seperti Bidan Khodijah, Kader Tuti, dan dr. Suwarno adalah contoh nyata bahwa kredibilitas tidak selalu datang dari pusat, tapi dari kedekatan dan konsistensi. Mereka bisa menjadi game changer dalam membangun kepercayaan dari bawah.
Tantangan lainnya datang dari ranah budaya. Di banyak keluarga, keputusan imunisasi bukan di tangan ibu meski merekalah yang paling dekat dengan anak. Seringkali ayah atau kakek yang menentukan. Di sini, pendekatan inklusif yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat jadi kunci. Pesan imunisasi harus menjangkau seluruh struktur sosial, bukan hanya puskesmas dan posyandu.
Sekolah pun perlu didorong untuk menjadi ruang edukasi, bukan sekadar lokasi suntikan. Sebagian sekolah masih enggan berpartisipasi penuh karena takut ditekan orang tua. Ini bukti bahwa program imunisasi harus menjawab kegelisahan masyarakat, bukan sekadar memenuhi target teknis.
Karena pada akhirnya, imunisasi bukan sekadar menyuntik vaksin. Ini soal membangun rasa aman dan itu hanya bisa terjadi kalau masyarakat percaya. Bukan hanya percaya pada vaksin, tapi pada orang dan institusi yang menyampaikan pesannya.
Sumatera Utara punya semua yang dibutuhkan untuk jadi contoh nasional: data yang kuat, tenaga yang siap, dan jaringan lokal yang aktif. Tinggal satu: kemauan kolektif untuk menyelami akar masalah sosial dan komunikasi, lalu bergerak bersama.
Setiap anak di Sumatera Utara berhak tumbuh tanpa dibayangi penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Kita hanya perlu satu hal: kepercayaan yang utuh.(cbud)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.