Kesemuan Akal dalam Kepemimpinan: Menuju Perpecahan atau Transformasi?

1 week ago 10
Web Kabar Live Pagi Tepat Terpercaya

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sejarah telah mengajarkan bahwa sebuah bangsa tidak runtuh dalam semalam, melainkan melalui serangkaian keputusan yang diambil oleh pemimpinnya. Dan bukan karena kebodohan, tetapi justru karena rasionalisme semu yang memberikan ilusi stabilitas jangka pendek, tanpa menyadari bahwa kebijakan tersebut justru sedang mempercepat kehancuran.

Ketika ketidakpuasan sosial meningkat, ketika suara rakyat semakin keras, pemimpin yang bijak akan membaca fenomena ini sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Pemimpin yang kehilangan kepekaan justru akan menggunakan kontrol lebih ketat, propaganda lebih intens, dan narasi stabilitas yang menipu diri sendiri.

Immanuel Kant, seorang filsuf yang menekankan rasionalitas moral, telah memperingatkan bahwa keputusan politik yang tidak berdasarkan prinsip keadilan universal hanya akan menghasilkan ketidakadilan struktural.

Rasionalitas bukanlah sekadar alat untuk mengontrol masyarakat atau mengatur pemerintahan, tetapi harus digunakan untuk menciptakan kebijakan yang dapat diterapkan kepada semua orang secara adil.

Pemimpin yang hanya menggunakan rasionalitas untuk mempertahankan kekuasaan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya, dia telah kehilangan esensi kepemimpinan sejati.

Di sisi lain, Georg Hegel melihat sejarah sebagai sebuah dialektika. Tesis akan selalu melahirkan antitesis, dan keduanya akan menghasilkan sintesis yang lebih maju.

Sebuah sistem yang stagnan dan menolak perubahan akan selalu menghadapi perlawanan. Dengan kata lain dua tokoh ini menyatakan ciri-ciri pemimpin yang punya karakter rasionalitas semu itu adalah mereka yang susah menyadari bahwa protes dan kritik bukan ancaman terhadap kekuasaannya. Pemimpin seperti ini akan mempercepat disintegrasi sosial dan politik.

Sejarah menunjukkan bangsa yang dipimpin dengan cara yang menutup ruang dialog dan menganggap perbedaan sebagai ancaman, biasanya yang terjadi bukanlah stabilitas, melainkan represi yang sewaktu-waktu akan meledak.

Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa negara-negara yang mengabaikan suara rakyat selalu berakhir dalam konflik. Ketika kebijakan hanya dibuat berdasarkan logika kekuasaan, tanpa mempertimbangkan keadilan sosial, maka negara kehilangan kepercayaan rakyatnya.

Krisis tidak terjadi tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari ketidakpekaan terhadap perubahan sosial yang sedang terjadi. Saat ini kita dapat melihat bagaimana ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan terus tumbuh, mulai dari isu ekonomi, ketimpangan sosial, hingga kebebasan sipil yang semakin terbatas.

Apakah mungkin kebijakan yang berbasis keadilan dan transparansi jadi pilihan demokrasi kita saat ini? Atau cara-cara lain yang diambil dengan kontrol narasi atau pembatasan ruang kritik.

Jika kebijakan hanya berfokus pada meredam ketidakpuasan tanpa menyelesaikan akar masalahnya, maka stabilitas tidak akan pernah terjadi. Pemimpin yang hanya melihat gejolak sosial sebagai gangguan dan bukan sebagai bagian dari dialektika perubahan sedang menggali jurang bagi dirinya sendiri.

Sebagai negara dengan ribuan pulau dan keberagaman yang kompleks, Indonesia tidak bisa dipertahankan hanya dengan aturan yang ketat dan kontrol yang semakin kuat. Kesatuan hanya bisa bertahan jika semua pihak merasa memiliki tempat dalam sistem, jika keadilan benar-benar dirasakan oleh semua golongan.

Sejarah telah menunjukkan bahwa pemimpin yang mencoba mengendalikan segalanya justru akan kehilangan segalanya. Dalam menghadapi tantangan zaman ini, Indonesia tidak boleh terjebak dalam rasionalisme semu yang hanya menunda masalah tanpa menyelesaikannya.

Yang dibutuhkan bukanlah lebih banyak kontrol, tetapi lebih banyak pemahaman. Buatlah kebijakan yang lebih adil dan inklusif. Jangan sampai ada pemimpin yang gagal membaca tanda-tanda zaman, karena perpecahan bukanlah ancaman abstrak, melainkan sesuatu yang nyata dan semakin dekat.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |