Kadar Nasionalisme dalam Segelas Susu Pertumbuhan

1 day ago 8

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia kini berpacu dengan waktu untuk mengejar cita-cita besar "Indonesia Emas 2045". Namun ancaman nyata berpotensi menghadang di depan mata, karena saat ini masih menghadapi tantangan memenuhi kebutuhan gizi populasi kunci di negara ini, yaitu anak-anak. Sudah banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kekurangan asupan gizi, terutama protein hewani dan zat gizi mikro memberi dampak langsung pada tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun kognitif, yang mana ini adalah modal utama dalam meraih bonus demografi.

Data status gizi terkini dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan bahwa masih ada sekitar 18 persen anak Indonesia yang mengalami stunting, bahkan kejadian berat badan kurang akibat defisit kalori juga masih cukup tinggi. Begitupun dengan anemia defisiensi besi yang masih prevalen pada kelompok ibu hamil, menyusui, dan anak usia sekolah.

Situasi ini diperparah dengan rendahnya konsumsi pangan hewani serta kurang optimalnya literasi gizi keluarga. Banyak keluarga, terutama di pedesaan dan wilayah miskin kota, hanya mampu memberikan nasi, sayur, dan lauk seadanya. Sumber protein berkualitas tinggi dan zat besi yang paling efisien diserap tubuh, seperti daging dan susu, masih menjadi barang mahal atau bukan prioritas.

Akibatnya, banyak anak Indonesia tumbuh pendek, lesu, dan kesulitan belajar. Masalah kesehatan ini saling terkait dan berakar dari satu hal mendasar, yaitu terbatasnya akses terhadap makanan bergizi lengkap, salah satunya adalah susu.

Susu, secara umum, telah lama dikenal sebagai sumber protein hewani yang lengkap dan kaya kalsium. Namun, bagi anak usia dini, terutama usia 1 hingga 6 tahun, kebutuhan gizinya jauh lebih spesifik dan kompleks. Disinilah susu pertumbuhan memainkan peran penting, karena diformulasikan khusus untuk memenuhi kebutuhan gizi mikro dan makro anak pada masa krusial pertumbuhan dan perkembangan otak.

Tidak seperti susu biasa, susu pertumbuhan biasanya difortifikasi atau diperkaya dengan zat besi, zinc, vitamin D, serta asam lemak esensial yang sangat dibutuhkan anak-anak Indonesia yang berisiko mengalami kekurangan gizi kronis.

Dalam konteks ini, susu pertumbuhan tentunya bukan sekadar minuman tambahan. Ia adalah solusi sederhana namun strategis, karena susu pertumbuhan dapat menyediakan kandungan protein berkualitas dan zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan anak pada masa emas pertumbuhan.

Di banyak negara maju, peningkatan konsumsi susu terbukti memperbaiki status gizi dan performa belajar anak-anak. Maka ketika kita berbicara tentang membangun masa depan Indonesia, segelas susu pertumbuhan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai urusan rumah tangga, tapi sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional. Segelas susu pertumbuhan menjadi simbol nasionalisme baru, kesadaran membangun bangsa lewat fondasi gizi yang kuat.

Susu Pertumbuhan: Intervensi Sederhana Berdampak Luas

Teknologi susu pertumbuhan diformulasikan khusus untuk mencegah kurang gizi yang sudah kronis terjadi pada anak Indonesia. Untuk anak yang tidak mendapat cukup variasi protein hewani, susu pertumbuhan pun bisa berperan seperti jaring pengaman gizi yang sangat penting.

Sebuah penelitian meta-analisis oleh Dror & Allen (2014) menunjukkan bahwa konsumsi susu pertumbuhan secara konsisten di masa tumbuh kembang anak berasosiasi dengan peningkatan tinggi badan, status gizi, dan performa kognitif. Studi di tanah air pun membuktikan hal yang sama.

Penelitian Dian Novita Chandra dengan Indonesia Nutrition Association (2024) juga membuktikan bahwa intervensi susu pertumbuhan yang diperkaya dengan kombinasi unik zat besi dan vitamin C, tidak hanya memastikan pemenuhan zat besi dan mencegah anemia defisiensi besi, tetapi juga berdampak langsung pada antropometri anak. Mereka yang mengonsumsi susu pertumbuhan teratur selama tiga bulan menjadi lebih tinggi dan tumbuh lebih baik dibanding anak yang tidak mendapatkan susu pertumbuhan.

Namun kendala yang paling kasat mata adalah rendahnya tingkat konsumsi susu di negara ini. Data Kementerian Pertanian (2021) mencatat bahwa konsumsi susu per kapita Indonesia hanya sekitar 16,1 liter per tahun, jauh tertinggal dibanding Malaysia (50,9 liter) atau bahkan Vietnam (20,1 liter). Sungguh sebuah ironi yang menyimbolkan betapa rapuhnya fondasi gizi bangsa ini.

Dalam ukuran biologis, ini mencerminkan ketimpangan asupan protein hewani dan zat gizi mikro yang esensial untuk tubuh. Namun dalam ukuran kebangsaan, ini adalah gejala dari lemahnya kesadaran kolektif untuk membangun kualitas manusia. Ketika bangsa lain menjadikan segelas susu sebagai investasi strategis, Indonesia justru masih cendernng mengesankan susu seperti kemewahan, padahal sesungguhnya dalam tiap tegukan susu terkandung potensi intelektual, imunitas sosial, dan martabat generasi. Inilah celah narasi nasionalisme yang perlu dibangun bersama.

Bila kita bisa belajar dari negara lain yang memiliki tingkat konsumsi susu yang baik dan status gizi rakyatnya yang prima, terlihat bahwa konsumsi susu sangat erat hubungannya dengan potensi pembangunan kebangsaan. Belanda misalnya, negara dengan konsumsi susu tertinggi di dunia, dengan rata-rata lebih dari 300 liter per kapita per tahun, memiliki populasi anak usia sekolah dengan performa pendidikan dasar tertinggi di Eropa.

Jepang, pascaperang dunia II, menjadikan program susu sekolah sebagai kebijakan nasional. Hasilnya, selain mendongkrak status gizi, program ini menciptakan budaya makan sehat, pertumbuhan fisik yang lebih baik, dan penurunan anemia secara signifikan. Bahkan di Korea Selatan, pemerintahnya mengintegrasikan susu termasuk susu pertumbuhan dalam program makan bergizi bagi balita dan anak sekolah sejak 1981. Kini, mereka memiliki salah satu populasi anak dengan pertumbuhan tertinggi dan menjadi salah satu negara yang memimpin peradaban kreatif dunia.

Dari bukti nyata diatas, secara lugas bisa dikatakan bahwa meningkatkan konsumsi susu pertumbuhan bukanlah sekadar agenda gizi, tetapi strategi kebangsaan yang konkret. Negara harus hadir menjadikan akses terhadap susu pertumbuhan sebagai hak anak, bukan privilese, karena di sanalah letak awal pembentukan nasionalisme sejati, yaitu tumbuhnya anak-anak Indonesia yang sehat, cerdas, dan kuat secara fisik maupun mental.

Nasionalisme Gizi

Bagaimanapun, nasionalisme hari ini bukan hanya soal simbol bendera atau upacara. Ia juga hidup dalam piring makan anak, dalam segelas susu pertumbuhan, dan dalam kebijakan publik yang memihak masa depan. Memberi anak Indonesia akses ke protein dan zat gizi mikro yang cukup adalah bentuk paling konkret dari cinta tanah air.

Menjadikan susu pertumbuhan sebagai bagian dari strategi nasional bukan berarti bergantung pada industri susu saja, tetapi menuntut kolaborasi kuat antara negara, peternak, industri, sekolah, dan masyarakat. Inilah nasionalisme sebagai tindakan kolektif, bukan slogan kosong. Mewujudkannya harus mulai dengan berfokus pada kebijakan. Integrasi susu pertumbuhan dalam program makan bergizi gratis di sekolah dan PAUD, terutama untuk kelompok usia 1-6 tahun yang paling kritis untuk tumbuh kembang otak dan tubuh.

Secara ilmiah intervensi susu pertumbuhan pada periode dan populasi ini sudah memiliki bukti klinis yang tak terbantahkan lagi. Ini adalah strategi jitu dan sederhana dalam memastikan titik awal pembangunan karakter dan nasionalisme anak Indonesia lewat pilar gizi, dapat diwujudnyatakan. Regulasi fortifikasi susu pertumbuhan adalah strategi imperatif, memastikan bahwa seluruh produk yang beredar mengandung zat gizi mikro esensial seperti zat besi, vitamin C, zinc, dan vitamin D, dengan dosis berbasis kebutuhan anak Indonesia.

Namun ini semua hanya bisa dimaksimalkan bila dibarengi dengan kampanye edukasi nasional tentang gizi mikro dan protein hewani, menekankan bahwa susu bukan sekadar pelengkap, tapi komponen penting dalam membangun otak dan masa depan anak. Peningkatan literasi gizi ibu dan keluarga melalui posyandu, puskesmas, dan media digital, agar pilihan konsumsi susu bukan didorong oleh iklan semata, tetapi oleh pemahaman yang berbasis ilmu.

Segelas susu pertumbuhan adalah tindakan kecil, tapi dampaknya lintas generasi. Ia bisa menjadi jembatan antara krisis gizi hari ini dan Indonesia maju yang dicita-citakan. Dalam tiap tegukan, ada protein, ada zat besi, ada harapan, dan ada harga diri bangsa.

Bila bangsa ini sungguh ingin besar, maka ia harus mulai dari yang kecil, yaitu dari anak-anak, dari isi piring dan gelas mereka. Dan jika nasionalisme adalah tentang kesetiaan pada kemajuan bangsa, maka hari ini, kadar nasionalisme juga harus ditakar dalam gram protein dan miligram zat besi.


(rah/rah)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |