Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk lebih dari 1% usai libur long weekend akhir Mei 2025. Pemberat utamanya adalah sektor keuangan yang turun 3% lebih pada perdagangan Senin (2/6/2025).
Emiten-emiten yang sahamnya terkoreksi dalam di sektor tersebut melingkupi PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang turun 3,19%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) turun 4,27%, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) turun 3,77%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) turun 3,56%, dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) ambruk 5,67%.
Penurunan ini terjadi seiring rilis data ekonomi Indonesia yang mencatatkan penurunan. Seperti data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (2/6/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 47,4 atau mengalami kontraksi pada Mei 2025. Ini adalah kedua kali dalam dua bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
Di samping itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan deflasi 0,37% secara bulanan (mtm) pada Mei 2025. Sementara, secara tahunan inflasi hanya tercatat tumbuh tipis sebesar 1,60% year on year (yoy).
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan setiap informasi ekonomi makro yang kurang baik cenderung cepat berdampak ke pergerakan saham perbankan. Sebab, menurunnya PMI dan terjadinya deflasi menunjukkan perekonomian melambat yang kemudian berdampak pada penyaluran pembiayaan perbankan.
"Dengan penurunan PMI, mengindikasikan ekonomi melambat dan daya beli turun," ujar Trioksa saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (2/6/2025).
Sementara itu, pengamat perbankan Moch. Amin Nurdin menguraikan ada beberapa penyebab turunnya harga saham bank. Antara lain, kondisi ekonomi dan politik RI yang ditandai dengan mencuatnya kabar reshuffle kabinet.
Kemudian, adanya berita buruk terkait emiten secara keseluruhan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebab, Amin menyebut saat ini tidak ada berita buruk terkait industri perbankan.
Selanjutnya, ia mengatakan adanya faktor momentum bagi para investor yang ingin mengambil keuntungan dengan melakukan investasi jangka pendek.
"Faktor teknis, misalnya karena ada kondisi-kondisi [ekonomi makro] tersebut, bisa jadi spekulan-spekulan bermain dan ini mempengaruhi harga saham," kata Amin saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (2/6/2025).
Senada, Analis Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi memandang koreksi yang terjadi pada saham-saham big bank disebabkan beberapa sentimen, yang di antaranya adalah aksi profit taking, seiring dengan IDXFIN masuk ke dalam area overbought.
Ia melanjutkan, terjadinya meningkatnya ketidakpastian pasar pasca potensi tarif reciprocal Trump yang akan tetap berjalan. Bahkan, tarif baru per 4 Juni mendatang untuk impor baja menjadi 50% dan menekan pasar Tiongkok. Hal ini dianggap melanggar kesepakatan Trade Truce di Zurich.
Audi mengatakan ada juga dampak peralihan investasi ke aset safe haven, ditandai dengan harga emas melonjak 2% ke level US$3.355 per toz. Hal ini menggambarkan pasar cenderung kembali memihak pada low risk aset.
"Kami berpandangan kondisi kinerja keuangan big bank masih tertekan di 4M25, meski kami melihat akan mengarah kepada outlook positif seiring dengan pivot Fed yang dovish dan ekonomi dalam negeri yang stabil," ungkap Audi saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (2/6/2025).
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: PMI Manufaktur RI Kontraksi Lagi, Terburuk Sejak Covid-19
Next Article Bikin IHSG Ambruk, Analis Beberkan Alasan Asing Banyak Jual Saham Bank