Investor Ritel Cuma Dijatah 10% Saham IPO, Untung Apa Buntung?

19 hours ago 5

Susi Setiawati,  CNBC Indonesia

04 December 2025 08:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar mengenai aturan penjatahan saham Initial Public Offering (IPO) kini kembali ramai menjelang datangnya saham-saham IPO. Penjatahan ini akan berdampak bagi investor ritel.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada November lalu menerbitkan aturan baru soal penjatahan saham IPO di mana investor ritel hanya berhak mendapatkan maksimal 10% dari total saham yang ditawarkan.

Aturan baru itu tertuang pada SEOJK 25/2025 berlaku mulai 17 November 2025 lalu menggantikan aturan lama SEOJK 15/2020.

Mekanisme

Dalam mekanisme SEOJK 25/2025, ada beberapa aturan penting yang mengatur proses e-IPO mulai dari verifikasi dana hingga penyelesaian penjatahan.

Pertama, sebelum penjatahan dilakukan, investor harus memastikan dana sudah tersedia di Rekening Dana Nasabah (RDN) atau Subrekening Efek Jaminan (SRN), untuk mencegah situasi di mana investor "memesan" saham tanpa dana cukup sehingga penjatahan menjadi lebih fair.

Bagi institusi yang ikut fixed allotment melalui bank kustodian, dana juga wajib masuk ke Subrekening Efek Jaminan atau Rekening Jaminan.

Secara praktis, jika seorang investor ikut beberapa IPO sekaligus dan dananya terbatas, sistem akan memprioritaskan pesanan fixed allotment terlebih dahulu, baru kemudian penjatahan terpusat (pooling), dan sisanya mengikuti urutan waktu pesanan masuk.

Kedua, aturan ini menentukan alokasi penjatahan, yaitu berapa banyak saham yang harus dibagi antara investor ritel dan institusi.

Rasio ritel versus non-ritel kini menjadi 1:1, artinya saham dalam kolam penjatahan terpusat dibagi sama rata. Selain itu, ada batas maksimal 10% untuk pesanan pooling per investor ritel, sehingga satu investor tidak bisa menyedot seluruh porsi.

Jika permintaan sangat tinggi atau oversubscribed ≥25 kali, porsi penjatahan minimal akan naik otomatis, yang sumbernya diambil dari fixed allotment institusi.

Ketiga, aturan juga mengatur penyelesaian pesanan, di mana sistem e-IPO harus memproses semua pesanan sesuai prioritas dan urutan masuk, dan pesanan ganda dari satu investor otomatis dibatalkan.

Kombinasi mekanisme ini memastikan distribusi saham lebih adil, mengurangi praktik joki atau nominee, dan memberikan kepastian hukum serta perlindungan bagi seluruh investor.
Dari aturan baru ini, OJK juga mengklasifikasikan lima saham IPO berdasarkan proceed atau target dana segar yang mau diraih. Begini rinciannya :

Singkatnya, dari golongan ini nantinya akan menentukan berapa banyak saham yang harus dialokasikan di pooling, dan bagaimana aturan oversubscription diterapkan.

Semakin tinggi golongan, nominal minimal penjatahan terpusat bisa lebih besar, tetapi persentase awal relatif kecil dibandingkan nilai total IPO, karena jumlah saham yang ditawarkan sangat besar.

RLCO dan SUPA Kena Efek Aturan Baru

Karena aturan ini baru berlaku sekitar akhir bulan lalu, jadi yang kena efeknya duluan ada dua saham IPO yang masih hangat yaitu PT Abadi Lestari Indonesia Tbk (RLCO) dan PT Super Bank Indonesia Tbk (SUPA).

Dampak ke RLCO

RLCO, yang termasuk Golongan II dengan nilai IPO sekitar Rp 105 miliar, menawarkan total 625 juta lembar saham.

Sesuai mekanisme SEOJK 25, RLCO wajib menyediakan minimal 15% dari total saham untuk penjatahan terpusat, atau setara dengan sekitar Rp20 miliar, mana yang lebih tinggi.

Namun, jika permintaan dari investor ritel sangat tinggi dan mencapai 25 kali lipat atau lebih dari porsi yang tersedia, persentase pooling otomatis naik menjadi 25%, yang setara dengan sekitar 156 juta lembar saham.

Peningkatan ini diambil dari porsi fixed allotment yang biasanya diberikan ke institusi, sehingga porsi mereka menurun. Rasio antara investor ritel dan non-ritel kini 1:1, artinya dari total porsi pooling yang ada, ritel minimal kebagian 12,5% dari total saham.

Dengan kata lain, aturan baru ini membuat RLCO lebih "ramah ritel" dibanding era SEOJK 15. Investor kecil kini punya peluang lebih besar untuk mendapatkan saham, sementara institusi harus menyesuaikan strategi mereka dan menerima pengurangan porsi saat permintaan ritel tinggi.

Dampak ke SUPA

SUPA, yang termasuk Golongan V dengan nilai IPO jumbo sekitar Rp3,06 triliun, menawarkan 4,4 miliar lembar saham. Di skenario normal, minimal 2,5% dari total saham dialokasikan untuk penjatahan terpusat.

Namun, jika antusiasme pasar sangat tinggi dan permintaan dari investor ritel mencapai 25 kali lipat atau lebih, porsi pooling otomatis naik menjadi 12,5%, setara dengan sekitar 550 juta lembar saham.

Peningkatan ini diambil dari fixed allotment institusi, sehingga institusi yang tadinya berharap memperoleh saham besar melalui jalur pasti harus berbagi dengan investor ritel. Dengan rasio ritel/non-ritel 1:1, investor ritel minimal kebagian 6,25% dari total saham.

Meski persentase ini terlihat lebih kecil dibandingkan RLCO, secara nominal jumlah saham yang dialokasikan untuk ritel tetap sangat besar karena nilai IPO SUPA jumbo. Dampaknya, SUPA memaksa institusi menyesuaikan strategi dan menahan porsi mereka, sementara investor ritel mendapat kesempatan yang lebih signifikan untuk memiliki saham di IPO terbesar tahun ini.

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(saw/saw)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |